Sabtu, 31 Mei 2014

STRATEGI BELAJAR BERBASIS OTAK DAN INDERA

GLOBAL LEARNING:
MENGOPTIMALKAN FUNGSI OTAK DAN INDERA
DALAM PEMBELAJARAN

Abstract
Paradigma pembelajaran lama (tradisional) memandang tidak ada hubungan antara otak (pikiran) dan tubuh. Belajar dianggap sebagai kerja otak semata, belajar adalah suatu proses rasional dan verbal yang nyaris tidak ada hubungannya dengan seluruh perasaan dan indra.
Padahal, seperti yang dinyatakan dalam temuan-temuan baru di bidang neuroscience, antara otak dan tubuh ada kaitan yang sangat erat dan tak terpisahkan satu sama lain. Gerakan tubuh dapat meningkatkan fungsi otak dan kondisi otak tertentu dapat berpengaruh besar pada tubuh seseorang. Berpikir, belajar, dan mengingat, tidak terbatas di kepala saja, tetapi tersebar ke seluruh tubuh. Banyak berpikir, belajar, dan membuat keputusan, misalnya, terjadi di tingkatan seluler dan molekuler. Perubahan paradigma dalam pembelajaran merupakan sebuah keniscayaan guna meraih manfaat dan hasil belajar yang maksimal, dan salah satu caranya adalah dengan melakukan optimalisasi fungsi otak dan indra dalam pembelajaran.
Kata-kata kunci: optimalisasi, fungsi otak dan indera, paradigma pembelajaran, tradisional, neuroscience, seluler, molekuler, konsep SAVI.
A. Pendahuluan
Hasil-hasil pengajaran dan pembelajaran berbagai bidang studi terbukti selalu kurang memuaskan berbagai pihak, baik bagi pendidik, sekolah, maupun masyarakat (stakeholder). Hal tersebut setidak-tidaknya disebabkan oleh tiga hal. Pertama, perkembangan kebutuhan dan aktivitas berbagai bidang kehidupan selalu meninggalkan proses dan hasil kerja lembaga pendidikan atau melaju lebih cepat daripada proses pengajaran dan pembelajaran, sehingga hasil-hasil pengajaran dan pembelajaran tidak relevan dengan kenyataan kehidupan yang diarungi oleh siswa. Kedua, pandangan-pandangan dan temuan-temuan kajian baru dari berbagai bidang tentang pembelajaran dan pengajaran membuat paradigma, falsafah, strategi dan metodologi pembelajaran yang ada sekarang tidak memadai atau tidak cocok lagi. Ketiga, berbagai permasalahan dan kenyataan negatif tentang hasil pengajaran dan pembelajaran menuntut diupayakannya pembaharuan paradigma, falsafah, strategi dan metodologi pengajaran dan pembelajaran. Dengan demikian, diharapkan mutu dan hasil pembelajaran dapat makin baik dan meningkat.
Untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran –di samping juga menyelaraskan dan menyerasikan proses pembelajaran dengan pandangan-pandangan dan temuan-temuan baru di berbagai bidang– falsafah dan metodologi pembelajaran senantiasa dimutakhirkan, diperbaharui, dan dikembangkan oleh berbagai kalangan khususnya kalangan pendidikan-pengajaran-pembelajaran. Oleh karena itu, falsafah dan metodologi pembelajaran silih berganti dipertimbangkan, digunakan atau diterapkan dalam proses pembelajaran dan pengajaran. Lebih-lebih dalam dunia yang lepas kendali atau berlari tunggang-langgang (runway world –istilah Anthony Giddens) sekarang, falsafah dan metodologi pembelajaran sangat cepat berubah dan berganti, bahkan bermunculan secara serempak; satu falsafah dan metodologi pembelajaran dengan cepat dirasakan usang dan ditinggalkan, kemudian diganti (dengan cepat pula) dengan falsafah dan metodologi pembelajaran yang lain, malahan sering diumumkan atau dipopulerkan secara serentak beberapa falsafah dan metodologi pembelajaran.
Tidak mengherankan, dalam beberapa tahun terakhir ini di Indonesia telah berkelebatan (muncul, populer, surut, tenggelam) berbagai falsafah dan metodologi pembelajaran yang dipandang baru-mutakhir meskipun akar atau sumber pandangannya sebenarnya sudah ada sebelumnya, malah jauh sebelumnya. Beberapa di antaranya --yang banyak dibicarakan, didiskusikan, dan dicobakan oleh berbagai kalangan pembelajaran dan sekolah-- dapat dikemukakan di sini, yaitu pembelajaran konstruktivis, pembelajaran kooperatif, pembelajaran terpadu, pembelajaran kontekstual, pembelajaran berbasis projek, pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran interaksi dinamis, pembelajaran kuantum, dan pembelajaran aktif (active learning).
Konsep pembelajaran baru-mutakhir menegaskan bahwa setiap orang memiliki potensi otak yang relatif sama, tinggal bagaimana dia mengolahnya. Bila seseorang mampu mengenali tipe belajarnya dan melakukan pembelajaran yang relevan dengan gaya belajar tersebut, maka belajar akan menjadi menyenangkan dan akan memberikan hasil yang optimal.[1] Sayangnya, tidak semua orang bisa mencapai kondisi ini. Banyak pembelajaran yang gagal karena mereka masih berkutat dengan model dan paradigma pembelajaran lama.
Dalam dunia pendidikan, paradigma lama mengenai proses belajar-mengajar bersumber pada teori tabula rasa dari John Locke.[2] Locke mengatakan bahwa pikiran seorang anak seperti kertas kosong yang putih bersih dan siap menunggu coretan-coretan gurunya. Otak seorang anak ibarat botol kosong yang siap diisi dengan segala ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan dari guru. Dalam implementasinya, ada beberapa pola (model) pembelajaran yang sering digunakan, misalnya pola “memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa”. Dalam pola ini, tugas seorang guru adalah memberi dan tugas seorang siswa adalah menerima. Guru memberikan informasi dan mengharapkan siswa untuk menghafal dan mengingatnya.[3]
Pola atau model lain adalah “mengisi botol kosong dengan air pengetahuan”. Dalam pola ini, siswa adalah penerima pengetahuan yang pasif, dan guru adalah pemilik penge­tahuan yang nantinya akan dihafal oleh siswa. Ada pula model pembelajaran yang “mengkotak-kotakkan siswa”. Guru mengelompokkan siswa berdasarkan nilai dan memasukkan siswa dalam kategori, siapa yang berhak naik kelas, siapa yang tidak, siapa yang bisa lulus dan siapa yang tidak. Kemampuan dinilai dengan ranking dan siswa pun direduksi menjadi angka-angka. Dalam pola ini, siswa dipacu dalam kompetisi yang tidak sehat, bagaikan “ayam aduan”. Siswa bekerja keras untuk mengalahkan teman sekelasnya. Siapa yang kuat, dia yang menang. Orang tua pun saling bersaing memuji anaknya masing-masing dan menonjolkan prestasi mereka.[4] Sebenarnya tuntutan dalam dunia pendidikan sudah banyak berubah. Paradigma lama di atas tidak bisa lagi dipertahankan. Teori, penelitian, dan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar membuktikan bahwa para guru sudah harus mengubah paradigma pengajaran.
B. Indera (Tubuh) dan Pembelajaran
Kata belajar merupakan kata yang sangat akrab dengan keseharian, salah satunya karena di setiap saat, di setiap tempat setiap individu dapat melakukannya. Namun sangat disayangkan pada kenyataannya masih terlampau banyak individu yang mendefinisikan belajar dalam lingkup yang masih terlalu sempit. Seperti yang terjadi ketika belajar hanya dibatasi pada hal yang berkenaan dengan menghafal isi buku atau mendengarkan kuliah yang membosankan. Pemikiran seperti ini sangat membatasi individu dalam mendapatkan hal yang terbaik dari pembelajaran. Individu kehilangan begitu banyak potensi dan kesempatan pembelajaran dikarenakan pembatasan oleh definisi tersebut, dan itu pula yang sebenarnya terjadi di keseharian ketika pembelajaran tidak dianggap sebagai suatu kebutuhan. Layaknya nutrisi bagi tubuh, belajar merupakan kebutuhan alami. Semua makhluk yang ada di muka bumi termasuk di dalamnya tumbuhan dan hewan, belajar dengan caranya masing-masing, menyikapi stimulus dari sekitar. Sedemikiannya pentingnya arti pembelajaran hingga jika dikaitkan dengan tinjauan relijius, semua agama menganjurkan umatnya untuk belajar. Sehingga keseluruhan hal ini tentu menyiratkan definisi belajar yang jauh lebih luas dan mendalam. Definisi yang memungkinkan individu mendapatkan hal yang terbaik dari pembelajaran dengan cara yang mudah dan alami seperti halnya makan.
Terlepas dari definisi belajar yang diberikan oleh berbagai perspektif, pada tulisan ini definisi belajar yang diberikan adalah semua perubahan pada kapabilitas dan prilaku organisme, baik secara mental maupun fisik, yang diakibatkan oleh pengalaman. Definisi ini meliputi banyak ragam pembelajaran; asosiatif, spasial, laten, induksi, imitasi, kemampuan (skill) dan lainnya. Luasnya definisi belajar memberikan implikasi mengenai pentingnya memahami berbagai mekanisme individu dalam melakukan pembelajaran, baik yang tersurat maupun yang tersirat seperti yang terjadi pada bentuk pembelajaran laten (latent learning). Bentukan ini sedemikian pentingnya karena sedikitnya memberikan jalan bagi munculnya pemahaman mengenai pembelajaran yang lebih abstrak seperti pembelajaran pada tingkat seluler ataupun pembelajaran bawah sadar. Selain itu pentingnya juga untuk dicermati berbagai potensi pikiran dan aplikasinya dalam pembelajaran.
Masa kini merupakan saat di mana belajar menjadi lebih penting dan juga lebih mudah dibandingkan masa sebelumnya. Hal ini tentunya tidak menyiratkan belajar tidak dibutuhkan di masa lampau. Kemajuan teknologi informasi, komputer dan internet, dewasa ini telah menyebabkan informasi dapat segera tersedia dalam jumlah yang tidak terbatas, cepat dan dengan akses yang mudah. Usia produk yang tersedia di pasaran semakin singkat, apa yang ada sekarang, telah menjadi sejarah di keesokan harinya. Berbagai jenis pekerjaan datang dan pergi, yang sebelumnya tidak terpikirkan menjadi kenyataan. Perubahan terjadi di mana-mana, pada setiap aspek dengan laju yang sangat kilat. Dunia selalu berubah dalam hitungan detik. Berubah atau dirubah kini menjadi pilihan. Untuk terus dapat berselancar di atas gelombang perubahan yang cepat dan tidak ditenggelamkan olehnya, individu perlu belajar secara efektif dan efesien. Kemampuan individu dalam mengambil, memproses dan menyimpan informasi tentu sangat berkaitan dengan kemampuannya untuk terus bertahan hidup di muka bumi.
Kemampuan belajar merupakan alat andalan dalam mempertahankan kehidupan. Ironisnya kenyataan di lapangan tidak berkata demikian. Bagi sebagian individu belajar merupakan suatu beban. Banyak ditemui siswa yang kelelahan hanya untuk sekedar mendapatkan prestasi rendah. Sedemikian rendahnya hingga mereka sendiri akhirnya bertanya, ”Apa saya mampu untuk terus belajar di tempat ini.” Semakin banyak ditemui berbagai hambatan psikologis yang berkaitan dengan belajar, sebut saja salah satunya didaskalenophobia (fobia terhadap sekolah). Mengacu pada uraian di atas, hal ini menunjukan respon dari suatu stimulus yang dapat dikelompokan sebagai salah satu bentuk pembelajaran, dalam hal ini individu tersebut belajar untuk menakuti belajar. Belum lagi ditambah dengan berbagai kesulitan teknis lainnya, seperti kemampuan mengambil, memproses dan mengingat informasi dengan sangat terbatas. Sehingga satu-satunya pertanyaannya sekarang adalah bagaimana meningkatkan kemampuan belajar karena jika tidak maka pilihannya tentu adalah ikut menjadi fosil seperti brontosautrus dan rekan-rekannya sesama dinosaurus dari masa prasejarah. Banyak faktor yang berkontribusi pada kurang optimalnya pembelajaran seperti ketidakmampuan menggunakan semua potensi yang dimiliki atau praktek pembelajaran yang kurang optimal.
Banyak orang menganggap sekolah adalah salah satu arena persaingan. Mulai dari awal masa pendidikan formal, seorang anak belajar dalam suasana kompetisi dan harus berjuang keras memenangkan kompetisi untuk bisa naik kelas atau lulus. Sebenarnya, kompetisi bukanlah satu-satunya model pembelajaran yang bisa dan harus dipakai, ada model individual dan model kerjasama. Tiga model pembelajaran ini, yaitu model kompetisi, individual, dan kerjasama, memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing.[5] Pilihan tunggal, yakni hanya memilih salah satu saja dari ketiganya, tidak akan membawa kepada hasil belajar yang memuaskan. Kondisi ini rupanya disadari oleh Mel Silberman, Profesor dalam Studi Pskologi di Universitas Temple, yang memadukan ketiga model pembelajaran itu ke dalam satu model pembelajaran yang mengaktifkan pikiran (otak) dan tubuh (indera) siswa, yang disebut Pembelajaran Aktif.
Ada banyak alasan kenapa pembelajaran harus mengaktifkan pikiran dan indera siswa. Antara lain, menurut Silberman, karena dalam kegiatan belajar aktif, siswa melakukan hampir semua kegiatan belajar, seperti mempelajari gagasan, memecahkan masalah dan menerapkan apa yang telah mereka pelajari.[6] Guru yang menggunakan model pembelajaran aktif berarti dia membuka dan memberi kesempatan yang seluas-luasnya pada siswa untuk terlibat, baik dengan cara mendengar, melihat, mengajukan pertanyaan, dan berdiskusi dengan siswa lain. Mereka didorong untuk belajar memecahkan masalah sendiri, menemukan contoh-contoh, mencoba keterampilan-keterampilan, dan melakukan tugas-tugas yang disesuaikan dengan pengetahuan yang telah mereka miliki atau yang harus mereka capai. Belajar aktif membuat pembelajaran berjalan dengan penuh gairah, menyenangkan, dan menarik.
Lebih dari 2400 tahun yang lalu Confucius menyatakan: “What I hear, I forget; what I see, I remember; and what I do, I understand”.[7] Mel Siberman telah memodifikasi dan memperluas pernyataan Confucius tersebut menjadi: “What I hear, I forget; what I hear and see, I remember a little; what I hear, see, and ask questions about or discuss with someone else, I begin to understand; what I hear, see, discuss, and do, I acquire knowledge and skill; and what I teach to another, I master”.[8] Pernyataan Conficius dan Silberman ini menguak dan mengingatkan kita pada fakta yang cukup memprihatinkan, yakni sebagian besar orang (siswa) cenderung melupakan apa yang telah mereka dengar. Hal itu terjadi adalah karena adanya perbedaan tingkat kecepatan bicara guru dengan tingkat kecepatan pendengaran siswa. Pada umumnya guru berbicara kurang lebih 100-200 kata permenit. Namun berapa banyak kata yang dapat diserap siswa? Ini tergantung pada bagaimana mereka mendengarkan. Jika siswa betul-betul konsentrasi, barangkali mereka dapat menangkap antara 50–100 kata permenit, atau setengah dari yang dikatakan guru. Hal ini karena siswa sambil berpikir ketika mereka mendengarkan, sehingga akan sulit menyimak pembicaraan guru secara utuh, lebih-lebih guru yang bicaranya cepat. Selain itu, sangat sulit berkonsentrasi secara terus menerus dalam waktu lama, kecuali materi pelajarannya disampaikan secara menarik.
Penelitian lain mengungkapkan bahwa kemampuan siswa mendengarkan (tanpa berfikir) rata-rata 400-500 kata permenit. Ketika aktivitas mendengar dilakukan secara terus menerus selama waktu tertentu mengikuti ceramah guru yang berbicara lambat, siswa cenderung merasa bosan dan jenuh. Akibatnya, pikiran mereka tidak bisa berkonsentras dan melayang ke mana-mana. McKeachie menyatakan bahwa dalam pengajaran bergaya ceramah, perhatian siswa hanya bertahan sekitar 40% dari seluruh waktu belajar. Dalam sepuluh menit pertama, siswa dapat mengingat sampai 70% materi yang diterima, tetapi dalam sepuluh menit terakhir mereka hanya dapat mengingat hanya sekitar 20% materi pembelajaran tersebut.[9] Tidak mengherankan jika mahasiswa dalam kuliah psikologi yang disampaikan dengan ceramah hanya mengetahui 8% lebih banyak dari kelompok pembanding yang tidak pernah mengambil kuliah itu sama sekali.[10] Kemampuan mengingat ini bisa ditingkatkan 14–38 persen bila pembelajaran menggunakan media visual.[11] Peningkatan akan mencapai 200 persen bila kosa kata juga diajarkan di samping penggunaan media audio-visual.
Dalam perkembangan berikutnya muncul pendekatan SAVI dalam pembelajaran, diperkenalkan oleh Dave Meir dalam bukunya, The Accelerated Learning Handbook. SAVI adalah singkatan dari Somatis (belajar dengan bergerak dan berbuat), Auditori (belajar dengan berbicara dan mendengar), Visual (belajar dengan mengamati dan menggambarkan), dan Intelektual (belajar dengan memecahkan masalah dan merenung).[12] Pendekatan ini didasarkan pada sebuah konsep belajar yang disebut Belajar Berdasar Aktivitas (BBA). Belajar Berdasar Aktivitas (BBA) berarti bergerak aktif secara fisik ketika belajar, dengan memanfaatkan indra sebanyak mungkin, dan membuat seluruh tubuh dan pikiran terlibat dalam poses belajar. Pelatihan konvensional cenderung membuat orang tidak aktif secara fisik dalam jangka waktu lama. Terjadilah kelumpuhan otak dan belajar pun melambat layaknya merayap atau bahkan berhenti sama sekali. Mengajak orang untuk bangkit dan bergerak secara berkala akan menyegarkan tubuh, meningkatkan peredaran darah ke otak, dan dapat berpengaruh positif pada belajar.[13]
Belajar berdasar aktivitas secara umum jauh lebih efektif daripada yang didasarkan presentasi, materi, dan media. Alasannya sederhana: cara belajar itu mengajak orang terlibat sepenuhnya. Telah terbukti berkali-kali bahwa biasanya orang belajar lebih banyak dari berbagai aktivitas dan pengalaman yang dipilih dengan tepat daripada jika mereka belajar dengan duduk di depan penceramah, buku panduan, televisi, ataupun komputer.[14] Memang, pembelajaran tidak otomatis meningkat dengan menyuruh orang berdiri dan bergerak ke sana kemari. Akan tetapi, menggabungkan gerakan fisik dengan aktivitas intelektual dan penggunaan semua indra dapat berpengaruh besar pada pembelajaran.
Belajar Berbasis Aktivitas ini mesti menyatukan keempat unsur belajar model SAVI agar belajar bisa berlangsung secara optimal. Tanpa keterpaduan unsur-unsur ini, maka belajar tidak akan bisa berlangsung efektif. Semua unsur itu harus digunakan secara simultan. Para pendidik (guru dan dosen) hendaknya memahami hal ini, dan kemudian menyesuaikan diri dengan paradigma pembelajaran yang berkembang saat ini. Paradigma baru dalam pembelajaran ini menghendaki adanya pemahaman bahwa dalam pembelajaran siswalah yang menemukan dan mengembangkan pengetahuan. Guru hanya menciptakan kondisi dan situasi yang memungkinkan siswa membentuk makna dari bahan-bahan pelajaran melalui suatu proses belajar, dan menyimpannya dalam ingatan yang sewaktu-waktu dapat diproses dan dikembangkan lebih lanjut.[15]
Dalam pembelajaran, siswa harus diberi kesempatan untuk membangun pengetahuan secara aktif. Belajar adalah suatu kegiatan yang dilakukan siswa, bukan sesuatu yang dilakukan terhadap siswa. Siswa seharusnya tidak menerima penge­tahuan dari guru atau kurikulum secara pasif. Teori skemata menjelaskan bahwa siswa mengaktifkan struktur kognitif mereka dan membangun struktur-struktur baru untuk mengakomodasi masukan-masukan pengetahuan yang baru. Penyusunan pengetahuan yang terus-menerus menempatkan siswa sebagai peserta yang aktif.[16] Selain itu, guru perlu mengembangkan kompetensi dan kemampuan siswa. Kegiatan belajar mengajar harus lebih menekankan pada proses daripada hasil. Setiap orang pasti mempunyai potensi. Paradigma lama mengklasifikasikan siswa dalam kategori prestasi belajar seperti dalam penilaian ranking dan hasil-hasil tes. Paradigma lama ini menganggap kemampuan sebagai sesuatu yang sudah mapan dan tidak dipengaruhi oleh usaha dan pendidikan. Paradigma baru mengembangkan kompetensi dan potensi siswa berdasarkan asumsi bahwa usaha pendidikan bisa meningkatkan kemampuan mereka. Tujuan pendidikan adalah meningkat­kan kemampuan siswa sampai setinggi yang dia bisa.[17]
Dalam kegiatan pendidikan terjadilah interaksi pribadi di antara para siswa dan interaksi antara guru dan siswa. Jadi, pendidikan adalah suatu proses sosial yang tidak dapat terjadi tanpa inter­aksi antarpribadi. Belajar bukan hanya proses pribadi, tetapi juga proses sosial yang terjadi ketika masing-masing orang berhubungan dengan yang lain dan membangun pengertian dan pengetahuan bersama.[18] Untuk mencapai pembelajaran yang efektif, suasana kelas perlu direncanakan dan dibangun sedemikian rupa, sehingga siswa mendapatkan kesempatan untuk berinteraksi satu sama lain. Dalam interaksi ini, siswa akan membentuk komunitas yang memungkinkan mereka untuk menikmati proses belajar dan saling mendukung satu sama lain. Dalam suasana belajar yang penuh dengan persaingan dan pengisolasian siswa, sikap dan hubungan yang negatif akan terbentuk dan mematikan semangat siswa. Suasana seperti ini akan menghambat pembentukan pengetahuan secara aktif. Oleh karena itu, guru perlu menciptakan suasana belajar yang kondusif, di mana hubungan dan kerjasama antar siswa terjalin dengan baik, sehingga aktivitas belajar menjadi menarik dan menyenangkan.

C. Otak (Pikiran) dan Pembelajaran

Pembahasan mengenai pembelajaran tentu tidak dapat dipisahkan dengan pembahasan mengenai otak sebagai pusat berbagai aktifitas mental mulai dari pengambilan, pemrosesan hingga penyimpanan informasi. Guna menghindari kerancuan semantik terlebih dahulu perlu dijelaskan lebih lanjut mengenai terminologi otak, pikiran dan pemikiran. Sederhananya otak (brain) dapat dianalogikan sebagai komputer (perangkat kerasnya), di mana pikiran (mind) merupakan sistem operasi (seperti windows, Unix, Linux dan lainnya) dan pemikiran (thought) merupakan aplikasi yang dapat bekerja pada sistem operasi tersebut, seperti Microsoft Word dan lainnya. Ketiganya perlu saling bersinergi untuk menghasilkan daya guna yang optimal. Pemikiran tidak akan ada tanpa pikiran seperti halnya otak tidak akan berguna tanpa ada pikiran.
Otak merupakan bagian dari Sistem Saraf Pusat (Central Nervous System). Sistem ini sangat erat kaitannya dengan pembelajaran. Bahkan lebih dari pada itu, Sistem Saraf Pusat (SSP) berkenaan dengan pengaturan terkait bagaimana satu makhluk merespon stimulus dari lingkungan sekitar. SSP dapat dianalogikan sebagai jamur, dengan tulang belakang sebagai batangnya dan otak sebagai tudung jamur. Semua pembahasan lanjutan pada buku ini sangat berkenaan dengan berbagai kemampuan cortex, lapisan yang melingkupi hampir seluruh permukaan otak yang terdiri dari sejumlah sel yang saling berhubungan satu sama lain.[19]
Panca indra dan seluruh otot di tubuh terhubung dengan saraf, sekelompok neuron yang menghantarkan sinyal. Neuron dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, namun pada dasarnya semua neuron memiliki fungsi yang sama di mana pun letaknya di tubuh, yaitu membawa aliran listrik dan bertindak sebagai penghubung (relay), melanjutkan informasi dari satu neuron ke neuron lain. Demikianlah mekanisme pengantaran informasi yang dibawa dari pemukaan di kulit, sebagai sinyal elektrik, dan juga bagaimana otot diberitahu untuk bergerak, menggunakan informasi.
Saraf yang ada di tulang belakang berada dalam kondisi berpasangan. Pasangan saraf tersebut ada yang bertindak sebagai reseptor (menerima sinyal seperti sensasi sentuhan, cahaya, audio dan lainnya) dan effector, yang memicu munculnya aktivitas pada otot dan berbagai kelenjar. Pada tulang belakang tidak terdapat kecerdasan namun demikian telah ada suatu bentuk mekanisme pengambilan keputusan seperti berbagai penarikan yang dilakukan secara reflek terhadap berbagai sensasi. Sinyal yang darurat, seperti sinyal panas (yang sangat), dapat memicu effector untuk memberikan respon (seperti menggerakan otot) sebelum sinyal tersebut sampai di otak.[20]
Otak (pikiran) merupakan suatu konsep yang abstrak, sehingga guna memahaminya perlu terlebih dahulu dibuatkan suatu model. Dalam mengumpulkan, memproses dan menyimpan informasi, pikiran manusia bekerja dalam dua modus, modus sadar dan modus luar sadar. Sederhananya kedua modus ini dapat dianggap sebagai pikiran sadar (conscious mind) dan pikiran bawah luar sadar (non-conscious mind). Pikiran sadar merupakan pikiran yang dialokasikan hanya untuk menangani aktifitas yang tengah terjadi saat ini sehingga proses yang terjadi dapat dilakukan secara lebih efisien. Dengan kata lain, pikiran sadar mempermudah individu saat menangani suatu aktifitas. Misalnya pada saat membaca buku ini, maka pikiran sadar anda bekerja mengambil informasi dari buku ini, memprosesannya (berupa membuat representasi mental) dan kemudian menyimpannya. Berkenaan dengan proporsinya, pikiran sadar memiliki proporsi yang tidak besar dari keseluruhan pikiran (kurang lebih hanya 10%). Angka tersebut bukanlah suatu representasi yang presisi, melainkan hanya untuk memberikan gambaran sekilas berkenaan dengan minimnya proporsi pikiran sadar dibandingkan keseluruhan pikiran manusia. Pikiran sadar dapat dianalogikan seperti bagian gunung es yang terlihat di atas permukaan laut.
Sementara segala sesuatu yang berada di luar jangkauan pikiran sadar, itu disebut sebagai pikiran bawah sadar. Misalnya sementara anda membaca buku ini, sadarkah anda akan sentuhan baju dengan kulit? Tentu setelah saya menunjukan hal tersebut (sentuhan baju pada kulit) perhatian anda dapat langsung tertuju padanya walaupun sebelumnya anda tidak merasakan. Sensasi seperti sentuhan baju pada kulit sementara merupakan sesuatu yang diproses di luar jangkauan pikiran sadar. Kapasitas pikiran luar sadar lebih besar dibandingkan kapasitas pikiran sadar. Pikiran luar sadar menyimpan berbagai pengalaman dan pemahaman yang telah anda kumpulkan dari masa lalu. Hal ini dapat dipahami melalui fenomena mimpi saat tidur di malam hari. Berbekal berbagai pemahaman dari masa lalu inilah anda memahami dunia sekitar, menentukan apa dan bagaimana cara anda belajar. Berdasar prinsip asosiasi di pikiran, hanya hal-hal yang sebelumnya telah ada di pikiran yang dapat anda pelajari selanjutnya.
Serupa dengan pembahasan tentang belahan otak kanan dan kiri, memperhatikan tabel tersebut memberikan kesimpulan bahwa kedua jenis pemrosesan oleh pikiran tersebut saling melengkapi. Hal ini tentunya mengindikasikan bahwa guna mengoptimalkan hasil pembelajaran, keduanya perlu digunakan secara simultan. Anda dapat memahami lebih lanjut mengenai pemrosesan luar sadar (non-conscious processing) melalui mekanisme lucid dreaming. Lebih lanjut mengenai pikiran bawah sadar meliputi Sub-Conscious (SC) Mind (pikiran setengah sadar) dan Un-Conscious (UC) Mind (pikiran tidak sadar). SC bertanggung jawab menangani berbagai hal berkenaan yang tidak ditangani oleh pikiran sadar, seperti pola-pola aktifitas, kebiasaan dan lainnya. Inilah sebabnya kebiasaan sangat sulit untuk dirubah secara sadar. UC utamanya berkenaan dengan fungsi-fungsi primer tubuh, seperti detak jantung, aktifitas paru-paru dan lainnya. Tentu kembali lagi berbagai hal ini tidak ditangani secara sadar. Untuk lebih jelasnya anda dapat memperhatikan ilustrasi berikut.
Berbagai level atau kondisi pikiran ini kemudian dapat diidentifikasi lebih lanjut ketika dihubungkan dengan gelombang dari otak. Otak memiliki berbagai gelombang yang masing-masing berkorespondensi dengan kondisi tertentu dari pikiran. Lebih lanjut mengenai gelombang otka diberikan sebagai berikut:[21]
1. Beta (14 – 28 Hz)
Konsentrasi, tersadarkan, waspada, kognisi, level yang lebih tinggi berkenaan dengan kecemasan, sakit, perasaan terpisah, respon lari atau lawan
2. Alpha (8 – 13.9 Hz)
Tidur dengan bermimpi (Tidur REM, 80% probabilita), Relaksasi, pembelajaran super (superlearning), fokus secara relaks, trans ringan, peningkatan produksi serotonin, pusing sesaat sebelum tidur atau terbangun, meditasi, permulaan memasuki kondisi unconscious
3. Theta (4 – 7.9 Hz)
Tidur dengan bermimpi (Tidur REM, 20% probabilita), peningkatan produksi katekolamin (penting untuk pembelajaran dan pengingatan), peningkatan kreatifitas, integratif, pengalaman emosional, potensi perubahan prilaku, peningkatan retensi materi yang telah dipelajari, imajinasi hypnogogic, trans, meditasi mendalam, akses ke kondisi unconscious
4. Delta (0.1 – 3.9 Hz)
Tidur tanpa mimpi, pelepasan hormon pertumbuhan, kondisi serupa trans sangat dalam, kondisi non-fisik, hilangnya sensasi fisik, akses pada kondisi unconscious, ”dorongan” yang kuat pada otak ketika diinduksi dengan Holosync
Perlu dipahami, bahwa semua teori tentang otak, meskipun tampaknya terlalu menyederhanakan, namun teori-teori itu dapat menjadi kiasan yang bermanfaat untuk membantu memahami organisme otak yang rumit dengan cara yang praktis dan konkrit. Ada banyak pandangan mengenai otak sekarang ini, dan tak satu pun yang memberi gambaran menyeluruh. Namun, semuanya memberi sumbangan pada pemahaman yang lebih kaya tentang cara otak belajar. Pandangan-pandangan ini tidak terlalu bertentangan, lebih saling melengkapi.
Satu pandangan menyatakan bahwa otak adalah sup kimiawi yang berkomunikasi melalui seluruh bagiannya, dengan membuat, menyebarkan, dan berhubungan dengan banyak ragam zat kimia. Pandangan lain, menyatakan bahwa otak adalah bagian dari suatu jaringan kabel listrik yang menyebar ke seluruh tubuh dan terus-menerus mengirim dan menerima pesan. Jumlah kabel itu luar biasa banyaknya. Otak sendiri mempunyai lebih dari 100.000 mil kabel. Kabel ini (yang disebut akson dan dendrit) mempunyai jutaan interaksi per detik dengan dirinya sendiri, dengan jaringan yang disebarkan ke seluruh tubuh, dan dengan zat-zat kimia yang diangkut melalui aliran darah.[22]
Pandangan berikutnya, otak adalah sekumpulan besar sel-sel otak individual yang membentuk beberapa subsistem, yang menyatu membentuk sistem lebih besar, yang pada gilirannya menyatu lagi membentuk sistem yang lebih besar dan lebih rumit. Selanjutnya, sistem ini menyatu untuk membentuk mega-sistem yang lebih besar lagi, semuanya interaktif dan saling berhubungan sepanjang waktu. Pandangan yang lain lagi: Otak seperti hologram yang semua bagiannya memuat keseluruhannya, dan ingatan disebarkan ke seluruh sistem total. Jika ada sesuatu yang benar-benar dipelajari, menurut teori ini, itu dipelajari oleh otak dan tubuh secara keseluruhan. Otak dan tubuh adalah prosesor simultan, bukan sekuensial (tidak bekerja sendiri-sendiri). Otak dirancang untuk memproses konteks-konteks total atau menyeluruh, dan bukan satu hal tersendiri untuk satu waktu.[23]
Ilmuwan peneliti otak, Dr. Marian Diamond, telah menghabiskan waktu tiga puluh tahun mengadakan rangkaian percobaan pada otak. Kesimpulannya adalah bahwa pada umur berapa pun sejak lahir hingga mati, sangat mungkin untuk meningkatkan kemampuan mental seseorang melalui rangsangan lingkungan. Karyanya menunjuk pada kenyataan bahwa sejauh menyangkut otak, ungkapan lama "gunakan atau hilangkan saja", adalah nasihat yang sangat baik. Semakin terangsang otak dengan aktivitas intelektual dan interaksi lingkungan, semakin banyak jalinan yang dibuat antara sel-sel. Ini berarti potensi manusia adalah tak terbatas.
Tiga bagian otak juga dibagi menjadi belahan kanan dan belahan kiri. Kini dua belahan ini lebih dikenal sebagai "otak kanan" dan "otak kiri". Eksperimen terhadap dua belahan ini telah menunjukkan bahwa masing-masing belahan bertanggung jawab terhadap cara berpikir, dan masing-masing mempunyai spesialisasi dalam kemampuan-kemampuan tertentu, walaupun ada beberapa persilangan dan interaksi antara kedua sisi.
Proses berpikir otak kiri bersifat logis, sekuensial, linear, dan rasional. Sisi ini sangat teratur. Walaupun berdasarkan realitas, ia mampu melakukan penafsiran abstrak dan simbolis. Cara berpikirnya sesuai untuk tugas-tugas teratur ekspresi verbal, menulis, membaca, asosiasi auditorial, menempatkan detail dan fakta, fonetik, serta simbolisme. Cara berpikir otak kanan bersifat acak, tidak teratur, intuitif, dan holistik. Cara berpikirnya sesuai dengan cara-cara untuk mengetahui yang bersifat nonverbal, seperti perasaan dan emosi, kesadaran yang berkenaan dengan perasaan, kesadaran spasial, pengenalan bentuk dan pola, musik, seni, kepekaan warna, kreativitas dan visualisasi.
Kedua belahan otak penting artinya. Orang yang memanfaatkan kedua belahan otak ini juga cenderung "seimbang" dalam setiap aspek kehidupan mereka. Belajar terasa sangat mudah bagi mereka karena mereka mempunyai pilihan untuk menggunakan bagian otak yang diperlukan dalam setiap pekerjaan yang sedang dihadapi. Karena sebagian besar komunikasi diungkapkan dalam bentuk verbal atau tertulis, yang keduanya merupakan spesialisasi otak kiri, bidang-bidang pendidikan, bisnis, dan sains cenderung berat ke otak kiri. Sesungguhnya, jika seseorang termasuk kategori otak kiri dan dia tidak melakukan upaya tertentu memasukkan beberapa aktivitas otak kanan dalam hidupnya, ketidak-seimbangan yang dihasilkannya dapat mengakibatkan stres, juga gangguan kesehatan mental dan fisik. Untuk menyeimbangkan kecenderungan masyarakat terhadap otak kiri, perlu dimasukkan musik dan estetika dalam pengalaman belajar mereka, dan memberikan umpan balik yang positif. Semua itu menimbulkan emosi positif, yang membuat otak lebih efektif. Emosi yang positif mendorong ke arah kekuatan otak, yang mengarah pada keberhasilan, emosi yang positif, dan siklus aktif.
Dari pembahasan mengenai belahan otak kanan ataupun otak kiri, bisa diketahui bahwa tak satu pun bagian otak ini yang bekerja secara sempurna tanpa adanya rangsangan atau dorongan dari bagian yang lain. Inilah yang disebut sebagai cara belajar global (global learning). Selama masa hidup, kita semua mempunyai kesimpulan-kesimpulan tentang otak kita dan kekuatannya. Mungkin penampilan yang buruk di sekolah membuat seseorang menyimpulkan bahwa otaknya tidak "sebaik" otak siswa-siswa lain yang selalu mendapatkan nilai baik. Atau ia memutuskan bahwa otaknya "cocok" dalam beberapa hal, tetapi tidak untuk hal-hal lainnya. Atau mungkin dia baru menyadari bahwa ada beberapa hal yang tidak akan pernah bisa dipelajarinya karena dia tidak punya kemampuan untuk itu. Semua kesimpulan ini patut disesalkan, dan mungkin saja salah.
Terlepas dari perbedaan nyata dalam kecerdasan dan tingkat kesuksesan di antara orang-orang, semua orang mempunyai susunan saraf yang sama. Fisiologi otak seseorang sangat mirip dengan milik orang lain, bahkan juga dengan pemikir-pemikir cemerlang seperti Einstein. Ini berarti setiap orang mempunyai peluang yang luar biasa besarnya. Jika ada seseorang yang menampilkan perilaku yang mengagumkan, atau yang telah mencapai sesuatu yang ingin dilakukan, maka orang itu bisa digunakan sebagai model. Dan siapapun bisa meniru keberhasilan orang itu dengan mengatur pola berpikir dan tubuhnya seperti model tersebut. Para ilmuwan peneliti tentang perilaku menyebut ini sebagai pemodelan (modelling).
Ada beberapa fungsi otak, yaitu neokortek (berpikir), limbik (merasa), dan reptil (bertahan). Bila dikaitkan dengan pembelajaran, fungsi reptil diwujudkan dalam bentuk kegiatan menghafal, mengikuti rutinitas dan contoh yang ditetapkan oleh hierarki, sistem yang digerakkan oleh semangat mempertahankan diri (takut akan kegagalan), tanpa perhatian pada perasaan dan pada ikatan sosial di lingkungan pendidikan, tanpa usaha untuk mengajar murid cara berkreasi, memecahkan masalah, dan berpikir sendiri.
Sekarang ini mestinya belajar dalam arti memfungsikan otak reptil harus direvisi. Pembelajaran harus memanfaatkan kekuatan seluruh pikiran dan seluruh diri untuk belajar (pikiran, tubuh, emosi, dan semua indra). Memanfaatkan seluruh otak merupakan kunci untuk membuat belajar lebih cepat, lebih menarik, dan lebih efektif. Menjaga agar fungsi reptil tetap hidup dengan naluri pertahanan dirinya dan fungsi-fungsi otomatisnya memang harus dilakukan. Kepatuhan pada contoh dan kebiasaan itu penting dan positif. Akan tetapi, diperlukan jauh lebih banyak daripada itu agar dapat hidup secara sempurna. Dalam belajar fungsi limbik harus dilibatkan. Emosi, sebagaimana yang dibenarkan oleh penelitian dan akal sehat, berpengaruh besar pada kualitas dan kuantitas belajar. Tidak ada apa pun yang dapat mempercepat pembelajaran daripada rasa gembira. Perasaan negatif memperlambat belajar atau bahkan menghentikannya sama sekali.
Salah satu tujuan tahap persiapan siklus Accelerated Learning adalah menciptakan perasaan positif dalam diri pembelajar. Tujuan lainnya adalah membangkitkan kecerdasan sosial sistem limbik. Doronglah pembelajar untuk bekerja sama, bukannya bersaing, kata para peneliti, maka pembelajaran akan meningkat pesat. Setiap orang harus melatih sepenuhnya fungsi neokorteks otak jika ingin mengoptimalkan pembelajaran dan prestasinya. Hal ini dilakukan dengan mengajar cara berpikir sendiri, mengolah (bukannya menyimpan) informasi, belajar, berkhayal, dan menciptakan makna serta nilai bagi dirinya sendiri dari informasi dan pengalaman yang didapat. Pembelajaran semakin cepat dan mendalam jika seluruh otak terlibat.
Dalam perspektif terbaru mengenai otak, tampak dengan jelas bahwa konsep behaviorisme[24] tentang belajar tidaklah komprehensif dan tidak mengembangkan psikologi seluruh otak, tetapi hanya psikologi otak reptil semata. Behaviorisme punya wawasan mendalam pada aspek reptil otak. Memang benar bahwa ada sebagian diri kita yang bersifat mekanis dan ritualistis, yang secara otomatis merespons berbagai rangsangan luar, yang dapat belajar cara memasukkan dan mengulang-ulang berbagai perilaku yang telah diprogram. Masalah behaviorisme adalah bahwa paham itu "berlagak" (sering secara sangat dogmatis) seolah membahas seluruh otak, padahal sesungguhnya hanya satu aspeknya.
Manusia lebih dari sekadar fungsi mekanistis, reptilian, dan rangsangan semata. Namun sayangnya, behaviorisme tidak menyinggung hal ini. Sedikit sekali yang dibahasnya tentang kecerdasan sosial dan emosional (sistem limbik), dan lebih sedikit lagi tentang pikiran kreatif dan inovatif (neo­korteks). Dan paham ini sama sekali tidak tertarik menyelami kearifan yang tersembunyi di dalam jiwa. Akibatnya pun, seperti yang sudah diketahui, banyak hal menimpa pembelajaran dan pelatih­an. Orang diajari bereaksi dengan cara yang sudah baku, bukan cara berpikir di luar kotak. Pelatihan menjadi instalasi terprogram dari perilaku yang dapat dikontrol, diulang-ulang, diramalkan, dan mekanis. "Teknologi Prestasi" (cap baru behaviorisme) juga tidak lebih baik meskipun beberapa ahli teknologi prestasi menunjuk-kan tanda-tanda bahwa mereka mulai menghargai segi sosial, spiritual, emosional, kreatif, dan sistemis dari pembelajaran, dan karena­nya menjadi tidak terlalu mendikte.
Bagi dunia pendidikan, yang penting adalah mencermati apa yang dapat diambil dari behaviorisme dan bergerak melampauinya menuju psikologi belajar yang memperhitungkan seluruh otak dan seluruh konteks belajar sosial dan emosional. Ini berarti tidak perlu lagi menentukan penampilan manusia (perilaku), tetapi lebih memusatkan perhatian pada hasil, mendorong orang untuk terus-menerus menciptakan cara-cara yang lebih baik untuk mencapai hasil, dan mencapai hasil yang lebih baik. Kita sering mengacaukan sarana dengan tujuan, seperti yang terlihat dalam penggunaan istilah "sasaran prestasi" yang menyilaukan. Prestasi adalah sarana, bukan tujuan itu sendiri. Prestasi adalah sarana untuk menciptakan nilai tertentu.
Pada hakikatnya belajar adalah aktivitas sepanjang hidup, dan ini berarti belajar adalah sama dengan hidup itu sendiri. Banyak telaah membuktikan bahwa orang yang terus belajar dan berkembang secara mental sepanjang hidup mereka jauh lebih kecil kemungkinannya terserang penyakit Alzheimer. Otak dapat terus menumbuhkan dendrit dan jaringan saraf hingga usia sangat lanjut jika dirangsang dengan tantangan-tantangan belajar yang baru, seperti dikemukakan Cynthia Short dalam buku pelatihan otaknya untuk kalangan manula, Dendrites Are Forever. Rahasia awet muda tampaknya adalah olahraga, diet yang tepat, dan belajar terus-menerus.
Otak manusia tidak bekerja seperti media audio atau video tape recorder, yang mampu merekam seluruh informasi secara utuh. Ketika menerima informasi, otak tidak langsung merekam, tapi mempertanyakannya lebih dulu, misalnya: Apakah saya pernah mendengar atau melihat informasi ini sebelumnya? Di bagian mana informasi ini cocok? Apa yang dapat saya lakukan terhadap informasi ini? Dalam menerima informasi, ternyata otak tidak hanya menerima begitu saja, tapi ia akan memproses dan mengolahnya. Untuk memproses dan mengolah informasi secara efektif, otak perlu melaksanakan refleksi internal dan eksternal. Ketika kita berdiskusi dengan orang lain dan aktif bertanya, otak kita dapat melakukan hal itu dengan lebih baik dibanding hanya mendengar saja. Sebagai contoh, Ruhl, Hughes, dan Schloss (1987) meminta siswa mendiskusikan dengan teman sebangku tentang apa yang dipresentasikan guru dalam jeda waktu tertentu selama belajar. Dibandingkan dengan siswa pada kelas pembanding yang tidak ada pemberhentian untuk diskusi, siswa-siswa ini memperoleh nilai dua tingkat lebih baik.
Pemahaman seseorang terhadap informasi akan lebih baik, jika dia melakukan sesuatu dengan informasi itu. Menurut John Holt, belajar semakin baik jika siswa diminta untuk melakukan hal-hal berikut: mengungkapkan informasi dengan bahasa dan kata-kata mereka sendiri, memberikan contoh-contoh, mengenalnya dalam berbagai bentuk dan kondisi, melihat hubungan antara informasi itu dengan fakta atau gagasan lain, menggunakannya dengan berbagai cara, memperkirakan beberapa konsekuensinya, dan mengungkapkan lawan atau kebalikannya.[25] Dalam banyak hal, otak seperti komputer dan kita sebagai penggunanya. Sebuah komputer, tentu saja, perlu “dihidupkan” agar supaya dapat bekerja. Otak kita perlu “dihidupkan” juga. Ketika belajar secara pasif, otak kita tidak “hidup”. Sebuah komputer memerlukan perangkat lunak (software) yang tepat untuk menafsirkan data-data yang dimasukkan. Otak kita perlu dihubungkan dengan apa yang diajarkan pada kita dengan apa yang telah kita ketahui dan bagaimana kita berpikir. Ketika belajar secara pasif, otak kita tidak melakukan hubungan ini pada software. Akhirnya, sebuah komputer tidak dapat menyimpan informasi yang telah diproses tanpa “menyimpannya”. Otak kita perlu mempertanyakan informasi, merumuskan atau menjelaskannya pada orang lain agar dapat menyimpannya dalam memori. Ketika belajar secara pasif, otak tidak menyimpan apa yang telah dipresentasikan.
Proses belajar sesungguhnya bukanlah semata kegiatan menghafal. Banyak hal yang kita ingat akan hilang dalam beberapa jam. Mempelajari sesuatu bukanlah menelan semuanya. Untuk mengingat apa yang telah diajarkan, siswa harus mengolah atau memahaminya. Seorang guru tidak bisa dengan serta merta menuangkan sesuatu ke dalam benak para siswanya, karena mereka sendirilah yang harus menata apa yang mereka dengar dan lihat menjadi satu kesatuan yang bermakna. Tanpa diberi peluang untuk mendiskusikan, mengajukan pertanyaan, mempraktikkan, dan barangkali bahkan mengajarkannya kepada siswa yang lain, proses belajar yang sesungguhnya tidak akan terjadi.
Ketika memulai pelajaran, seorang guru perlu menjadikan siswa aktif sejak awal. Jika tidak, kemungkinan besar sikap pasif siswa akan terus melekat, sehingga membutuhkan waktu lama untuk mengaktifkannya. Susunlah aktivitas pembuka yang menjadikan siswa lebih mengenal satu sama lain, merasa lebih leluasa, ikut berfikir, dan memperlihatkan minat terhadap pelajaran. Pengalaman-pengalaman ini bisa dianggap sebagai “hidangan pembuka” sebelum makanan utama; pengalaman ini membuat siswa berselera untuk menik-ati hidangan selanjutnya. Memang ada sebagian guru yang memilih untuk memulai pelajaran hanya dengan pengenalan singkat, namun menambahkan setidaknya satu latihan pembuka pada rencana pengajaran anda merupakan langkah pertama yang memiliki banyak manfaat.
Dalam saat-saat awal dari kegiatan belajar aktif, ada tiga tujuan penting yang harus dicapai. Arti penting dan manfaatnya jangan dipandang rendah, meskipun pelajarannya hanya berlangsung satu jam pelajaran. Tujuan pertama, untuk pembentukan tim, guna membantu siswa untuk lebih mengenal satu sama lain dan menciptakan semangat kerjasama dan interdependensi. Kedua, melakukan penilaian sederhana, guna mempelajari sikap, pengetahuan dan pengalaman siswa. Ketiga, mengusahakan keterlibatan belajar langsung, guna menciptakan minat awal terhadap pelajaran
Ketiga tujuan di atas, bila dicapai, akan membantu menciptakan lingkungan belajar yang melibatkan siswa, meningkatkan kemauan mereka untuk ambil bagian dalam kegiatan belajar aktif, dan menciptakan norma kelas yang positif. Dengan hanya memakan waktu sekitar lima menit (tergantung dari lamanya waktu pela­jaran) untuk mengawali pelajaran yang bisa berlangsung hingga dua jam, alokasi waktu pembuka ini sudah cukup memadai. Memperkenalkan kembali aktivitas ini dari waktu ke waktu selama pelajaran juga akan membantu memperbarui pembentukan tim, memperbaiki penilaian, dan menciptakan kembali minat terhadap mata pelajaran.
D. Penutup
Sebagai catatan akhir dari tulisan ini, bisa disimpulkan bahwa perubahan paradigma dalam pembelajaran adalah sebuah keharusan sejarah. Para pendidik hendaknya memahami mainstream ini, dan kemudian menyesuaikan diri. Esensi dari perubahan paradigma pembelajaran yang berkembang saat ini antara lain adalah:
Pertama, guru hendaknya memahami bahwa dalam pembelajaran siswalah yang menjadi pusat belajar, yang mencari, menemukan, membangun dan mengembangkan pengetahuan. Guru hanya menciptakan kondisi dan situasi yang memungkinkan siswa membentuk makna dari bahan-bahan pelajaran melalui suatu proses belajar, dan menyimpannya dalam ingatan yang sewaktu-waktu dapat diproses dan dikembangkan lebih lanjut.
Kedua, siswa harus diberi kesempatan untuk membangun pengetahuan secara aktif. Belajar adalah suatu kegiatan yang dilakukan siswa, bukan sesuatu yang dilakukan terhadap siswa. Siswa tidak menerima penge­tahuan dari guru atau kurikulum secara pasif. Teori Skemata menjelaskan bahwa siswa mengaktifkan struktur kognitif mereka dan membangun struktur-struktur baru untuk mengakomodasi masukan-masukan pengetahuan yang baru. Penyusunan pengetahuan yang terus-menerus menempatkan siswa sebagai peserta yang aktif.
Ketiga, guru perlu mengembangkan kompetensi dan kemampuan siswa. Kegiatan belajar mengajar harus lebih menekankan pada proses daripada hasil. Setiap orang pasti mempunyai potensi. Paradigma lama mengklasifikasikan siswa dalam kategori prestasi belajar seperti dalam penilaian ranking dan hasil-hasil tes. Paradigma lama ini menganggap kemampuan sebagai sesuatu yang sudah mapan dan tidak dipengaruhi oleh usaha dan pendidikan. Paradigma baru mengembangkan kompetensi dan potensi siswa berdasarkan asumsi bahwa usaha pendidikan bisa meningkatkan kemampuan mereka. Tujuan pendidikan adalah meningkat­kan kemampuan siswa sampai setinggi yang dia bisa.
Keempat, pendidikan adalah interaksi pribadi di antara para siswa dan interaksi antara guru dan siswa. Kegiatan pendidikan adalah suatu proses sosial yang tidak dapat terjadi tanpa inter­aksi antarpribadi. Belajar bukan hanya proses pribadi, tetapi juga proses sosial yang terjadi ketika masing-masing orang berhubungan dengan yang lain dan membangun pengertian dan pengetahuan bersama. Dalam interaksi ini, siswa akan membentuk komunitas yang memungkinkan mereka untuk menikmati proses belajar dan saling mendukung satu sama lain. Dalam suasana belajar yang penuh dengan persaingan dan pengisolasian siswa, sikap dan hubungan yang negatif akan terbentuk dan mematikan semangat siswa. Suasana seperti ini akan menghambat pembentukan pengetahuan secara aktif. Oleh karena itu, guru perlu menciptakan suasana belajar yang kondusif, di mana hubungan dan kerjasama antar siswa terjalin dengan baik, sehingga aktivitas belajar menjadi menarik dan menyenangkan.
Kelima, belajar melibatkan seluruh pikiran dan tubuh. Belajar tidak hanya menggunakan otak, tetapi juga melibatkan seluruh tubuh dan pikiran dengan segala emosi, indra, dan sarafnya. Pembelajaran terjadi ketika seorang pembelajar memadukan pengetahuan dan keterampilan baru ke dalam struktur dirinya sendiri yang telah ada. Belajar secara harfiah adalah menciptakan makna baru, jaringan saraf baru, dan pola interaksi elektrokimia baru di dalam sistem otak dan tubuh secara menyeluruh.
Keenam, pada dasarnya makna belajar adalah mengerjakan pekerjaan itu sendiri (dengan umpan balik), sehingga belajar yang paling baik adalah belajar dalam konteks. Hal-hal yang dipelajari secara terpisah akan sulit diingat dan mudah menguap. Kita belajar berenang dengan berenang, cara mengelola sesuatu dengan mengelolanya, cara bernyanyi dengan bernyanyi, cara menjual dengan menjual, dan cara memperhatikan kebutuhan konsumen dengan memperhatikan kebutuhannya. Pengalaman yang nyata dan konkret dapat menjadi guru yang jauh lebih baik daripada sesuatu yang hipotetis dan abstrak, asalkan di dalamnya tersedia peluang untuk terjun langsung secara total, mendapatkan umpan balik, merenung, dan menerjunkan diri kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar