STRATEGI BELAJAR BERBASIS OTAK DAN INDERA
GLOBAL LEARNING:
MENGOPTIMALKAN FUNGSI OTAK DAN INDERA
DALAM PEMBELAJARAN
Abstract
Paradigma
pembelajaran lama (tradisional) memandang tidak ada hubungan antara
otak (pikiran) dan tubuh. Belajar dianggap sebagai kerja otak semata,
belajar adalah suatu proses rasional dan verbal yang nyaris tidak ada
hubungannya dengan seluruh perasaan dan indra.
Padahal, seperti yang dinyatakan dalam temuan-temuan baru di bidang neuroscience, antara otak dan tubuh ada kaitan yang sangat erat dan tak terpisahkan satu sama lain. Gerakan tubuh dapat meningkatkan fungsi otak dan kondisi otak tertentu dapat berpengaruh besar pada tubuh seseorang. Berpikir, belajar, dan mengingat, tidak terbatas di kepala saja, tetapi tersebar ke seluruh tubuh. Banyak berpikir, belajar, dan membuat keputusan, misalnya, terjadi di tingkatan seluler dan molekuler. Perubahan paradigma dalam pembelajaran merupakan sebuah keniscayaan guna meraih manfaat dan hasil belajar yang maksimal, dan salah satu caranya adalah dengan melakukan optimalisasi fungsi otak dan indra dalam pembelajaran.
Padahal, seperti yang dinyatakan dalam temuan-temuan baru di bidang neuroscience, antara otak dan tubuh ada kaitan yang sangat erat dan tak terpisahkan satu sama lain. Gerakan tubuh dapat meningkatkan fungsi otak dan kondisi otak tertentu dapat berpengaruh besar pada tubuh seseorang. Berpikir, belajar, dan mengingat, tidak terbatas di kepala saja, tetapi tersebar ke seluruh tubuh. Banyak berpikir, belajar, dan membuat keputusan, misalnya, terjadi di tingkatan seluler dan molekuler. Perubahan paradigma dalam pembelajaran merupakan sebuah keniscayaan guna meraih manfaat dan hasil belajar yang maksimal, dan salah satu caranya adalah dengan melakukan optimalisasi fungsi otak dan indra dalam pembelajaran.
Kata-kata kunci: optimalisasi, fungsi otak dan indera, paradigma pembelajaran, tradisional, neuroscience, seluler, molekuler, konsep SAVI.
A. Pendahuluan
Hasil-hasil
pengajaran dan pembelajaran berbagai bidang studi terbukti selalu
kurang memuaskan berbagai pihak, baik bagi pendidik, sekolah, maupun
masyarakat (stakeholder). Hal tersebut setidak-tidaknya
disebabkan oleh tiga hal. Pertama, perkembangan kebutuhan dan aktivitas
berbagai bidang kehidupan selalu meninggalkan proses dan hasil kerja
lembaga pendidikan atau melaju lebih cepat daripada proses pengajaran
dan pembelajaran, sehingga hasil-hasil pengajaran dan pembelajaran tidak
relevan dengan kenyataan kehidupan yang diarungi oleh siswa. Kedua,
pandangan-pandangan dan temuan-temuan kajian baru dari berbagai bidang
tentang pembelajaran dan pengajaran membuat paradigma, falsafah,
strategi dan metodologi pembelajaran yang ada sekarang tidak memadai
atau tidak cocok lagi. Ketiga, berbagai permasalahan dan kenyataan
negatif tentang hasil pengajaran dan pembelajaran menuntut diupayakannya
pembaharuan paradigma, falsafah, strategi dan metodologi pengajaran dan
pembelajaran. Dengan demikian, diharapkan mutu dan hasil pembelajaran
dapat makin baik dan meningkat.
Untuk
memperbaiki dan meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran –di
samping juga menyelaraskan dan menyerasikan proses pembelajaran dengan
pandangan-pandangan dan temuan-temuan baru di berbagai bidang– falsafah
dan metodologi pembelajaran senantiasa dimutakhirkan, diperbaharui, dan
dikembangkan oleh berbagai kalangan khususnya kalangan
pendidikan-pengajaran-pembelajaran. Oleh karena itu, falsafah dan
metodologi pembelajaran silih berganti dipertimbangkan, digunakan atau
diterapkan dalam proses pembelajaran dan pengajaran. Lebih-lebih dalam
dunia yang lepas kendali atau berlari tunggang-langgang (runway world
–istilah Anthony Giddens) sekarang, falsafah dan metodologi
pembelajaran sangat cepat berubah dan berganti, bahkan bermunculan
secara serempak; satu falsafah dan metodologi pembelajaran dengan cepat
dirasakan usang dan ditinggalkan, kemudian diganti (dengan cepat pula)
dengan falsafah dan metodologi pembelajaran yang lain, malahan sering
diumumkan atau dipopulerkan secara serentak beberapa falsafah dan
metodologi pembelajaran.
Tidak
mengherankan, dalam beberapa tahun terakhir ini di Indonesia telah
berkelebatan (muncul, populer, surut, tenggelam) berbagai falsafah dan
metodologi pembelajaran yang dipandang baru-mutakhir meskipun akar atau
sumber pandangannya sebenarnya sudah ada sebelumnya, malah jauh
sebelumnya. Beberapa di antaranya --yang banyak dibicarakan,
didiskusikan, dan dicobakan oleh berbagai kalangan pembelajaran dan
sekolah-- dapat dikemukakan di sini, yaitu pembelajaran konstruktivis,
pembelajaran kooperatif, pembelajaran terpadu, pembelajaran kontekstual,
pembelajaran berbasis projek, pembelajaran berbasis masalah,
pembelajaran interaksi dinamis, pembelajaran kuantum, dan pembelajaran
aktif (active learning).
Konsep
pembelajaran baru-mutakhir menegaskan bahwa setiap orang memiliki
potensi otak yang relatif sama, tinggal bagaimana dia mengolahnya. Bila
seseorang mampu mengenali tipe belajarnya dan melakukan pembelajaran
yang relevan dengan gaya belajar tersebut, maka belajar akan menjadi
menyenangkan dan akan memberikan hasil yang optimal.[1]
Sayangnya, tidak semua orang bisa mencapai kondisi ini. Banyak
pembelajaran yang gagal karena mereka masih berkutat dengan model dan
paradigma pembelajaran lama.
Dalam dunia pendidikan, paradigma lama mengenai proses belajar-mengajar bersumber pada teori tabula rasa dari John Locke.[2]
Locke mengatakan bahwa pikiran seorang anak seperti kertas kosong yang
putih bersih dan siap menunggu coretan-coretan gurunya. Otak seorang
anak ibarat botol kosong yang siap diisi dengan segala ilmu pengetahuan
dan kebijaksanaan dari guru. Dalam implementasinya, ada beberapa pola
(model) pembelajaran yang sering digunakan, misalnya pola “memindahkan
pengetahuan dari guru ke siswa”. Dalam pola ini, tugas seorang guru
adalah memberi dan tugas seorang siswa adalah menerima. Guru memberikan
informasi dan mengharapkan siswa untuk menghafal dan mengingatnya.[3]
Pola
atau model lain adalah “mengisi botol kosong dengan air pengetahuan”.
Dalam pola ini, siswa adalah penerima pengetahuan yang pasif, dan guru
adalah pemilik pengetahuan yang nantinya akan dihafal oleh siswa. Ada
pula model pembelajaran yang “mengkotak-kotakkan siswa”. Guru
mengelompokkan siswa berdasarkan nilai dan memasukkan siswa dalam
kategori, siapa yang berhak naik kelas, siapa yang tidak, siapa yang
bisa lulus dan siapa yang tidak. Kemampuan dinilai dengan ranking dan
siswa pun direduksi menjadi angka-angka. Dalam pola ini, siswa dipacu
dalam kompetisi yang tidak sehat, bagaikan “ayam aduan”. Siswa bekerja
keras untuk mengalahkan teman sekelasnya. Siapa yang kuat, dia yang
menang. Orang tua pun saling bersaing memuji anaknya masing-masing dan
menonjolkan prestasi mereka.[4]
Sebenarnya tuntutan dalam dunia pendidikan sudah banyak berubah.
Paradigma lama di atas tidak bisa lagi dipertahankan. Teori, penelitian,
dan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar membuktikan bahwa para guru
sudah harus mengubah paradigma pengajaran.
B. Indera (Tubuh) dan Pembelajaran
Kata
belajar merupakan kata yang sangat akrab dengan keseharian, salah
satunya karena di setiap saat, di setiap tempat setiap individu dapat
melakukannya. Namun sangat disayangkan pada kenyataannya masih terlampau
banyak individu yang mendefinisikan belajar dalam lingkup yang masih
terlalu sempit. Seperti yang terjadi ketika belajar hanya dibatasi pada
hal yang berkenaan dengan menghafal isi buku atau mendengarkan kuliah
yang membosankan. Pemikiran seperti ini sangat membatasi individu dalam
mendapatkan hal yang terbaik dari pembelajaran. Individu kehilangan
begitu banyak potensi dan kesempatan pembelajaran dikarenakan pembatasan
oleh definisi tersebut, dan itu pula yang sebenarnya terjadi di
keseharian ketika pembelajaran tidak dianggap sebagai suatu kebutuhan.
Layaknya nutrisi bagi tubuh, belajar merupakan kebutuhan alami. Semua
makhluk yang ada di muka bumi termasuk di dalamnya tumbuhan dan hewan,
belajar dengan caranya masing-masing, menyikapi stimulus dari sekitar.
Sedemikiannya pentingnya arti pembelajaran hingga jika dikaitkan dengan
tinjauan relijius, semua agama menganjurkan umatnya untuk belajar.
Sehingga keseluruhan hal ini tentu menyiratkan definisi belajar yang
jauh lebih luas dan mendalam. Definisi yang memungkinkan individu
mendapatkan hal yang terbaik dari pembelajaran dengan cara yang mudah
dan alami seperti halnya makan.
Terlepas
dari definisi belajar yang diberikan oleh berbagai perspektif, pada
tulisan ini definisi belajar yang diberikan adalah semua perubahan pada
kapabilitas dan prilaku organisme, baik secara mental maupun fisik, yang
diakibatkan oleh pengalaman. Definisi ini meliputi banyak ragam
pembelajaran; asosiatif, spasial, laten, induksi, imitasi, kemampuan
(skill) dan lainnya. Luasnya definisi belajar memberikan implikasi
mengenai pentingnya memahami berbagai mekanisme individu dalam melakukan
pembelajaran, baik yang tersurat maupun yang tersirat seperti yang
terjadi pada bentuk pembelajaran laten (latent learning). Bentukan ini
sedemikian pentingnya karena sedikitnya memberikan jalan bagi munculnya
pemahaman mengenai pembelajaran yang lebih abstrak seperti pembelajaran
pada tingkat seluler ataupun pembelajaran bawah sadar. Selain itu
pentingnya juga untuk dicermati berbagai potensi pikiran dan aplikasinya
dalam pembelajaran.
Masa
kini merupakan saat di mana belajar menjadi lebih penting dan juga
lebih mudah dibandingkan masa sebelumnya. Hal ini tentunya tidak
menyiratkan belajar tidak dibutuhkan di masa lampau. Kemajuan teknologi
informasi, komputer dan internet, dewasa ini telah menyebabkan informasi
dapat segera tersedia dalam jumlah yang tidak terbatas, cepat dan
dengan akses yang mudah. Usia produk yang tersedia di pasaran semakin
singkat, apa yang ada sekarang, telah menjadi sejarah di keesokan
harinya. Berbagai jenis pekerjaan datang dan pergi, yang sebelumnya
tidak terpikirkan menjadi kenyataan. Perubahan terjadi di mana-mana,
pada setiap aspek dengan laju yang sangat kilat. Dunia selalu berubah
dalam hitungan detik. Berubah atau dirubah kini menjadi pilihan. Untuk
terus dapat berselancar di atas gelombang perubahan yang cepat dan tidak
ditenggelamkan olehnya, individu perlu belajar secara efektif dan
efesien. Kemampuan individu dalam mengambil, memproses dan menyimpan
informasi tentu sangat berkaitan dengan kemampuannya untuk terus
bertahan hidup di muka bumi.
Kemampuan
belajar merupakan alat andalan dalam mempertahankan kehidupan.
Ironisnya kenyataan di lapangan tidak berkata demikian. Bagi sebagian
individu belajar merupakan suatu beban. Banyak ditemui siswa yang
kelelahan hanya untuk sekedar mendapatkan prestasi rendah. Sedemikian
rendahnya hingga mereka sendiri akhirnya bertanya, ”Apa saya mampu untuk
terus belajar di tempat ini.” Semakin banyak ditemui berbagai hambatan
psikologis yang berkaitan dengan belajar, sebut saja salah satunya
didaskalenophobia (fobia terhadap sekolah). Mengacu pada uraian di atas,
hal ini menunjukan respon dari suatu stimulus yang dapat dikelompokan
sebagai salah satu bentuk pembelajaran, dalam hal ini individu tersebut
belajar untuk menakuti belajar. Belum lagi ditambah dengan berbagai
kesulitan teknis lainnya, seperti kemampuan mengambil, memproses dan
mengingat informasi dengan sangat terbatas. Sehingga satu-satunya
pertanyaannya sekarang adalah bagaimana meningkatkan kemampuan belajar
karena jika tidak maka pilihannya tentu adalah ikut menjadi fosil
seperti brontosautrus dan rekan-rekannya sesama dinosaurus dari
masa prasejarah. Banyak faktor yang berkontribusi pada kurang optimalnya
pembelajaran seperti ketidakmampuan menggunakan semua potensi yang
dimiliki atau praktek pembelajaran yang kurang optimal.
Banyak
orang menganggap sekolah adalah salah satu arena persaingan. Mulai dari
awal masa pendidikan formal, seorang anak belajar dalam suasana
kompetisi dan harus berjuang keras memenangkan kompetisi untuk bisa naik
kelas atau lulus. Sebenarnya, kompetisi bukanlah satu-satunya model
pembelajaran yang bisa dan harus dipakai, ada model individual dan model
kerjasama. Tiga model pembelajaran ini, yaitu model kompetisi, individual, dan kerjasama, memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing.[5]
Pilihan tunggal, yakni hanya memilih salah satu saja dari ketiganya,
tidak akan membawa kepada hasil belajar yang memuaskan. Kondisi ini
rupanya disadari oleh Mel Silberman, Profesor dalam Studi Pskologi di
Universitas Temple, yang memadukan ketiga model pembelajaran itu ke
dalam satu model pembelajaran yang mengaktifkan pikiran (otak) dan tubuh
(indera) siswa, yang disebut Pembelajaran Aktif.
Ada
banyak alasan kenapa pembelajaran harus mengaktifkan pikiran dan indera
siswa. Antara lain, menurut Silberman, karena dalam kegiatan belajar
aktif, siswa melakukan hampir semua kegiatan belajar, seperti
mempelajari gagasan, memecahkan masalah dan menerapkan apa yang telah
mereka pelajari.[6] Guru yang menggunakan model pembelajaran aktif berarti dia membuka
dan memberi kesempatan yang seluas-luasnya pada siswa untuk terlibat,
baik dengan cara mendengar, melihat, mengajukan pertanyaan, dan
berdiskusi dengan siswa lain. Mereka didorong untuk belajar memecahkan
masalah sendiri, menemukan contoh-contoh, mencoba
keterampilan-keterampilan, dan melakukan tugas-tugas yang disesuaikan
dengan pengetahuan yang telah mereka miliki atau yang harus mereka
capai. Belajar aktif membuat pembelajaran berjalan dengan penuh gairah, menyenangkan, dan menarik.
Lebih dari 2400 tahun yang lalu Confucius menyatakan: “What I hear, I forget; what I see, I remember; and what I do, I understand”.[7] Mel Siberman telah memodifikasi dan memperluas pernyataan Confucius tersebut menjadi: “What
I hear, I forget; what I hear and see, I remember a little; what I
hear, see, and ask questions about or discuss with someone else, I begin
to understand; what I hear, see, discuss, and do, I acquire knowledge
and skill; and what I teach to another, I master”.[8] Pernyataan
Conficius dan Silberman ini menguak dan mengingatkan kita pada fakta
yang cukup memprihatinkan, yakni sebagian besar orang (siswa) cenderung
melupakan apa yang telah mereka dengar. Hal itu terjadi adalah karena
adanya perbedaan tingkat kecepatan bicara guru dengan tingkat kecepatan
pendengaran siswa. Pada umumnya guru berbicara kurang lebih 100-200 kata
permenit. Namun berapa banyak kata yang dapat diserap siswa? Ini
tergantung pada bagaimana mereka mendengarkan. Jika siswa betul-betul
konsentrasi, barangkali mereka dapat menangkap antara 50–100 kata
permenit, atau setengah dari yang dikatakan guru. Hal ini karena siswa
sambil berpikir ketika mereka mendengarkan, sehingga akan sulit menyimak
pembicaraan guru secara utuh, lebih-lebih guru yang bicaranya cepat.
Selain itu, sangat sulit berkonsentrasi secara terus menerus dalam waktu
lama, kecuali materi pelajarannya disampaikan secara menarik.
Penelitian
lain mengungkapkan bahwa kemampuan siswa mendengarkan (tanpa berfikir)
rata-rata 400-500 kata permenit. Ketika aktivitas mendengar dilakukan
secara terus menerus selama waktu tertentu mengikuti ceramah guru yang
berbicara lambat, siswa cenderung merasa bosan dan jenuh. Akibatnya,
pikiran mereka tidak bisa berkonsentras dan melayang ke mana-mana.
McKeachie menyatakan bahwa dalam pengajaran bergaya ceramah, perhatian
siswa hanya bertahan sekitar 40% dari seluruh waktu belajar. Dalam
sepuluh menit pertama, siswa dapat mengingat sampai 70% materi yang
diterima, tetapi dalam sepuluh menit terakhir mereka hanya dapat
mengingat hanya sekitar 20% materi pembelajaran tersebut.[9]
Tidak mengherankan jika mahasiswa dalam kuliah psikologi yang
disampaikan dengan ceramah hanya mengetahui 8% lebih banyak dari
kelompok pembanding yang tidak pernah mengambil kuliah itu sama sekali.[10] Kemampuan mengingat ini bisa ditingkatkan 14–38 persen bila pembelajaran menggunakan media visual.[11] Peningkatan akan mencapai 200 persen bila kosa kata juga diajarkan di samping penggunaan media audio-visual.
Dalam perkembangan berikutnya muncul pendekatan SAVI dalam pembelajaran, diperkenalkan oleh Dave Meir dalam bukunya, The Accelerated Learning Handbook. SAVI adalah singkatan dari Somatis (belajar dengan bergerak dan berbuat), Auditori (belajar dengan berbicara dan mendengar), Visual (belajar dengan mengamati dan menggambarkan), dan Intelektual (belajar dengan memecahkan masalah dan merenung).[12] Pendekatan ini didasarkan pada sebuah konsep belajar yang disebut Belajar Berdasar Aktivitas (BBA). Belajar
Berdasar Aktivitas (BBA) berarti bergerak aktif secara fisik ketika
belajar, dengan memanfaatkan indra sebanyak mungkin, dan membuat seluruh
tubuh dan pikiran terlibat dalam poses belajar. Pelatihan konvensional
cenderung membuat orang tidak aktif secara fisik dalam jangka waktu
lama. Terjadilah kelumpuhan otak dan belajar pun melambat layaknya
merayap atau bahkan berhenti sama sekali. Mengajak orang untuk bangkit
dan bergerak secara berkala akan menyegarkan tubuh, meningkatkan
peredaran darah ke otak, dan dapat berpengaruh positif pada belajar.[13]
Belajar
berdasar aktivitas secara umum jauh lebih efektif daripada yang
didasarkan presentasi, materi, dan media. Alasannya sederhana: cara belajar itu mengajak orang terlibat sepenuhnya.
Telah terbukti berkali-kali bahwa biasanya orang belajar lebih banyak
dari berbagai aktivitas dan pengalaman yang dipilih dengan tepat
daripada jika mereka belajar dengan duduk di depan penceramah, buku
panduan, televisi, ataupun komputer.[14] Memang, pembelajaran tidak otomatis
meningkat dengan menyuruh orang berdiri dan bergerak ke sana kemari.
Akan tetapi, menggabungkan gerakan fisik dengan aktivitas intelektual
dan penggunaan semua indra dapat berpengaruh besar pada pembelajaran.
Belajar
Berbasis Aktivitas ini mesti menyatukan keempat unsur belajar model
SAVI agar belajar bisa berlangsung secara optimal. Tanpa keterpaduan
unsur-unsur ini, maka belajar tidak akan bisa berlangsung efektif. Semua
unsur itu harus digunakan secara simultan. Para pendidik (guru dan
dosen) hendaknya memahami hal ini, dan kemudian menyesuaikan diri dengan
paradigma pembelajaran yang berkembang saat ini. Paradigma baru dalam
pembelajaran ini menghendaki adanya pemahaman bahwa dalam pembelajaran
siswalah yang menemukan dan mengembangkan pengetahuan. Guru hanya
menciptakan kondisi dan situasi yang memungkinkan siswa membentuk makna
dari bahan-bahan pelajaran melalui suatu proses belajar, dan
menyimpannya dalam ingatan yang sewaktu-waktu dapat diproses dan
dikembangkan lebih lanjut.[15]
Dalam
pembelajaran, siswa harus diberi kesempatan untuk membangun pengetahuan
secara aktif. Belajar adalah suatu kegiatan yang dilakukan siswa, bukan
sesuatu yang dilakukan terhadap siswa. Siswa seharusnya tidak menerima
pengetahuan dari guru atau kurikulum secara pasif. Teori skemata
menjelaskan bahwa siswa mengaktifkan struktur kognitif mereka dan
membangun struktur-struktur baru untuk mengakomodasi masukan-masukan
pengetahuan yang baru. Penyusunan pengetahuan yang terus-menerus
menempatkan siswa sebagai peserta yang aktif.[16]
Selain itu, guru perlu mengembangkan kompetensi dan kemampuan siswa.
Kegiatan belajar mengajar harus lebih menekankan pada proses daripada
hasil. Setiap orang pasti mempunyai potensi. Paradigma lama
mengklasifikasikan siswa dalam kategori prestasi belajar seperti dalam
penilaian ranking dan hasil-hasil tes. Paradigma lama ini menganggap
kemampuan sebagai sesuatu yang sudah mapan dan tidak dipengaruhi oleh
usaha dan pendidikan. Paradigma baru mengembangkan kompetensi dan
potensi siswa berdasarkan asumsi bahwa usaha pendidikan bisa
meningkatkan kemampuan mereka. Tujuan pendidikan adalah meningkatkan
kemampuan siswa sampai setinggi yang dia bisa.[17]
Dalam
kegiatan pendidikan terjadilah interaksi pribadi di antara para siswa
dan interaksi antara guru dan siswa. Jadi, pendidikan adalah suatu
proses sosial yang tidak dapat terjadi tanpa interaksi antarpribadi.
Belajar bukan hanya proses pribadi, tetapi juga proses sosial yang
terjadi ketika masing-masing orang berhubungan dengan yang lain dan
membangun pengertian dan pengetahuan bersama.[18]
Untuk mencapai pembelajaran yang efektif, suasana kelas perlu
direncanakan dan dibangun sedemikian rupa, sehingga siswa mendapatkan
kesempatan untuk berinteraksi satu sama lain. Dalam interaksi ini, siswa
akan membentuk komunitas yang memungkinkan mereka untuk menikmati
proses belajar dan saling mendukung satu sama lain. Dalam suasana
belajar yang penuh dengan persaingan dan pengisolasian siswa, sikap dan
hubungan yang negatif akan terbentuk dan mematikan semangat siswa.
Suasana seperti ini akan menghambat pembentukan pengetahuan secara
aktif. Oleh karena itu, guru perlu menciptakan suasana belajar yang
kondusif, di mana hubungan dan kerjasama antar siswa terjalin dengan
baik, sehingga aktivitas belajar menjadi menarik dan menyenangkan.
C. Otak (Pikiran) dan Pembelajaran
Pembahasan
mengenai pembelajaran tentu tidak dapat dipisahkan dengan pembahasan
mengenai otak sebagai pusat berbagai aktifitas mental mulai dari
pengambilan, pemrosesan hingga penyimpanan informasi. Guna menghindari
kerancuan semantik terlebih dahulu perlu dijelaskan lebih lanjut
mengenai terminologi otak, pikiran dan pemikiran. Sederhananya otak (brain) dapat dianalogikan sebagai komputer (perangkat kerasnya), di mana pikiran (mind) merupakan sistem operasi (seperti windows, Unix, Linux dan lainnya) dan pemikiran (thought)
merupakan aplikasi yang dapat bekerja pada sistem operasi tersebut,
seperti Microsoft Word dan lainnya. Ketiganya perlu saling bersinergi
untuk menghasilkan daya guna yang optimal. Pemikiran tidak akan ada
tanpa pikiran seperti halnya otak tidak akan berguna tanpa ada pikiran.
Otak merupakan bagian dari Sistem Saraf Pusat (Central Nervous System).
Sistem ini sangat erat kaitannya dengan pembelajaran. Bahkan lebih dari
pada itu, Sistem Saraf Pusat (SSP) berkenaan dengan pengaturan terkait
bagaimana satu makhluk merespon stimulus dari lingkungan sekitar. SSP
dapat dianalogikan sebagai jamur, dengan tulang belakang sebagai
batangnya dan otak sebagai tudung jamur. Semua pembahasan lanjutan pada
buku ini sangat berkenaan dengan berbagai kemampuan cortex, lapisan yang
melingkupi hampir seluruh permukaan otak yang terdiri dari sejumlah sel
yang saling berhubungan satu sama lain.[19]
Panca
indra dan seluruh otot di tubuh terhubung dengan saraf, sekelompok
neuron yang menghantarkan sinyal. Neuron dapat dibedakan menjadi
beberapa jenis, namun pada dasarnya semua neuron memiliki fungsi yang
sama di mana pun letaknya di tubuh, yaitu membawa aliran listrik dan
bertindak sebagai penghubung (relay), melanjutkan informasi dari
satu neuron ke neuron lain. Demikianlah mekanisme pengantaran informasi
yang dibawa dari pemukaan di kulit, sebagai sinyal elektrik, dan juga
bagaimana otot diberitahu untuk bergerak, menggunakan informasi.
Saraf
yang ada di tulang belakang berada dalam kondisi berpasangan. Pasangan
saraf tersebut ada yang bertindak sebagai reseptor (menerima sinyal
seperti sensasi sentuhan, cahaya, audio dan lainnya) dan effector, yang
memicu munculnya aktivitas pada otot dan berbagai kelenjar. Pada tulang
belakang tidak terdapat kecerdasan namun demikian telah ada suatu bentuk
mekanisme pengambilan keputusan seperti berbagai penarikan yang
dilakukan secara reflek terhadap berbagai sensasi. Sinyal yang darurat,
seperti sinyal panas (yang sangat), dapat memicu effector untuk memberikan respon (seperti menggerakan otot) sebelum sinyal tersebut sampai di otak.[20]
Otak
(pikiran) merupakan suatu konsep yang abstrak, sehingga guna
memahaminya perlu terlebih dahulu dibuatkan suatu model. Dalam
mengumpulkan, memproses dan menyimpan informasi, pikiran manusia bekerja
dalam dua modus, modus sadar dan modus luar sadar. Sederhananya kedua
modus ini dapat dianggap sebagai pikiran sadar (conscious mind) dan pikiran bawah luar sadar (non-conscious mind).
Pikiran sadar merupakan pikiran yang dialokasikan hanya untuk menangani
aktifitas yang tengah terjadi saat ini sehingga proses yang terjadi
dapat dilakukan secara lebih efisien. Dengan kata lain, pikiran sadar
mempermudah individu saat menangani suatu aktifitas. Misalnya pada saat
membaca buku ini, maka pikiran sadar anda bekerja mengambil informasi
dari buku ini, memprosesannya (berupa membuat representasi mental) dan
kemudian menyimpannya. Berkenaan dengan proporsinya, pikiran sadar
memiliki proporsi yang tidak besar dari keseluruhan pikiran (kurang
lebih hanya 10%). Angka tersebut bukanlah suatu representasi yang
presisi, melainkan hanya untuk memberikan gambaran sekilas berkenaan
dengan minimnya proporsi pikiran sadar dibandingkan keseluruhan pikiran
manusia. Pikiran sadar dapat dianalogikan seperti bagian gunung es yang
terlihat di atas permukaan laut.
Sementara
segala sesuatu yang berada di luar jangkauan pikiran sadar, itu disebut
sebagai pikiran bawah sadar. Misalnya sementara anda membaca buku ini,
sadarkah anda akan sentuhan baju dengan kulit? Tentu setelah saya
menunjukan hal tersebut (sentuhan baju pada kulit) perhatian anda dapat
langsung tertuju padanya walaupun sebelumnya anda tidak merasakan.
Sensasi seperti sentuhan baju pada kulit sementara merupakan sesuatu
yang diproses di luar jangkauan pikiran sadar. Kapasitas pikiran luar
sadar lebih besar dibandingkan kapasitas pikiran sadar. Pikiran luar
sadar menyimpan berbagai pengalaman dan pemahaman yang telah anda
kumpulkan dari masa lalu. Hal ini dapat dipahami melalui fenomena mimpi
saat tidur di malam hari. Berbekal berbagai pemahaman dari masa lalu
inilah anda memahami dunia sekitar, menentukan apa dan bagaimana cara
anda belajar. Berdasar prinsip asosiasi di pikiran, hanya hal-hal yang
sebelumnya telah ada di pikiran yang dapat anda pelajari selanjutnya.
Serupa
dengan pembahasan tentang belahan otak kanan dan kiri, memperhatikan
tabel tersebut memberikan kesimpulan bahwa kedua jenis pemrosesan oleh
pikiran tersebut saling melengkapi. Hal ini tentunya mengindikasikan
bahwa guna mengoptimalkan hasil pembelajaran, keduanya perlu digunakan
secara simultan. Anda dapat memahami lebih lanjut mengenai pemrosesan
luar sadar (non-conscious processing) melalui mekanisme lucid dreaming.
Lebih lanjut mengenai pikiran bawah sadar meliputi Sub-Conscious (SC) Mind (pikiran setengah sadar) dan Un-Conscious (UC) Mind
(pikiran tidak sadar). SC bertanggung jawab menangani berbagai hal
berkenaan yang tidak ditangani oleh pikiran sadar, seperti pola-pola
aktifitas, kebiasaan dan lainnya. Inilah sebabnya kebiasaan sangat sulit
untuk dirubah secara sadar. UC utamanya berkenaan dengan fungsi-fungsi
primer tubuh, seperti detak jantung, aktifitas paru-paru dan lainnya.
Tentu kembali lagi berbagai hal ini tidak ditangani secara sadar. Untuk
lebih jelasnya anda dapat memperhatikan ilustrasi berikut.
Berbagai
level atau kondisi pikiran ini kemudian dapat diidentifikasi lebih
lanjut ketika dihubungkan dengan gelombang dari otak. Otak memiliki
berbagai gelombang yang masing-masing berkorespondensi dengan kondisi
tertentu dari pikiran. Lebih lanjut mengenai gelombang otka diberikan
sebagai berikut:[21]
1. Beta (14 – 28 Hz)
Konsentrasi,
tersadarkan, waspada, kognisi, level yang lebih tinggi berkenaan dengan
kecemasan, sakit, perasaan terpisah, respon lari atau lawan
2. Alpha (8 – 13.9 Hz)
Tidur dengan bermimpi (Tidur REM, 80% probabilita), Relaksasi, pembelajaran super (superlearning),
fokus secara relaks, trans ringan, peningkatan produksi serotonin,
pusing sesaat sebelum tidur atau terbangun, meditasi, permulaan memasuki
kondisi unconscious
3. Theta (4 – 7.9 Hz)
Tidur
dengan bermimpi (Tidur REM, 20% probabilita), peningkatan produksi
katekolamin (penting untuk pembelajaran dan pengingatan), peningkatan
kreatifitas, integratif, pengalaman emosional, potensi perubahan
prilaku, peningkatan retensi materi yang telah dipelajari, imajinasi
hypnogogic, trans, meditasi mendalam, akses ke kondisi unconscious
4. Delta (0.1 – 3.9 Hz)
Tidur
tanpa mimpi, pelepasan hormon pertumbuhan, kondisi serupa trans sangat
dalam, kondisi non-fisik, hilangnya sensasi fisik, akses pada kondisi
unconscious, ”dorongan” yang kuat pada otak ketika diinduksi dengan
Holosync
Perlu
dipahami, bahwa semua teori tentang otak, meskipun tampaknya terlalu
menyederhanakan, namun teori-teori itu dapat menjadi kiasan yang
bermanfaat untuk membantu memahami organisme otak yang rumit dengan cara
yang praktis dan konkrit. Ada banyak pandangan mengenai otak sekarang
ini, dan tak satu pun yang memberi gambaran menyeluruh. Namun, semuanya
memberi sumbangan pada pemahaman yang lebih kaya tentang cara otak
belajar. Pandangan-pandangan ini tidak terlalu bertentangan, lebih
saling melengkapi.
Satu
pandangan menyatakan bahwa otak adalah sup kimiawi yang berkomunikasi
melalui seluruh bagiannya, dengan membuat, menyebarkan, dan berhubungan
dengan banyak ragam zat kimia. Pandangan lain, menyatakan bahwa otak
adalah bagian dari suatu jaringan kabel listrik yang menyebar ke seluruh
tubuh dan terus-menerus mengirim dan menerima pesan. Jumlah kabel itu
luar biasa banyaknya. Otak sendiri mempunyai lebih dari 100.000 mil
kabel. Kabel ini (yang disebut akson dan dendrit) mempunyai jutaan
interaksi per detik dengan dirinya sendiri, dengan jaringan yang
disebarkan ke seluruh tubuh, dan dengan zat-zat kimia yang diangkut
melalui aliran darah.[22]
Pandangan
berikutnya, otak adalah sekumpulan besar sel-sel otak individual yang
membentuk beberapa subsistem, yang menyatu membentuk sistem lebih besar,
yang pada gilirannya menyatu lagi membentuk sistem yang lebih besar dan
lebih rumit. Selanjutnya, sistem ini menyatu untuk membentuk
mega-sistem yang lebih besar lagi, semuanya interaktif dan saling
berhubungan sepanjang waktu. Pandangan yang lain lagi: Otak seperti
hologram yang semua bagiannya memuat keseluruhannya, dan ingatan
disebarkan ke seluruh sistem total. Jika ada sesuatu yang benar-benar
dipelajari, menurut teori ini, itu dipelajari oleh otak dan tubuh secara
keseluruhan. Otak dan tubuh adalah prosesor simultan, bukan sekuensial
(tidak bekerja sendiri-sendiri). Otak dirancang untuk memproses
konteks-konteks total atau menyeluruh, dan bukan satu hal tersendiri
untuk satu waktu.[23]
Ilmuwan
peneliti otak, Dr. Marian Diamond, telah menghabiskan waktu tiga puluh
tahun mengadakan rangkaian percobaan pada otak. Kesimpulannya adalah
bahwa pada umur berapa pun sejak lahir hingga mati, sangat mungkin untuk
meningkatkan kemampuan mental seseorang melalui rangsangan lingkungan.
Karyanya menunjuk pada kenyataan bahwa sejauh menyangkut otak, ungkapan
lama "gunakan atau hilangkan saja", adalah nasihat yang sangat baik.
Semakin terangsang otak dengan aktivitas intelektual dan interaksi
lingkungan, semakin banyak jalinan yang dibuat antara sel-sel. Ini
berarti potensi manusia adalah tak terbatas.
Tiga
bagian otak juga dibagi menjadi belahan kanan dan belahan kiri. Kini
dua belahan ini lebih dikenal sebagai "otak kanan" dan "otak kiri".
Eksperimen terhadap dua belahan ini telah menunjukkan bahwa
masing-masing belahan bertanggung jawab terhadap cara berpikir, dan
masing-masing mempunyai spesialisasi dalam kemampuan-kemampuan tertentu,
walaupun ada beberapa persilangan dan interaksi antara kedua sisi.
Proses
berpikir otak kiri bersifat logis, sekuensial, linear, dan rasional.
Sisi ini sangat teratur. Walaupun berdasarkan realitas, ia mampu
melakukan penafsiran abstrak dan simbolis. Cara berpikirnya sesuai untuk
tugas-tugas teratur ekspresi verbal, menulis, membaca, asosiasi
auditorial, menempatkan detail dan fakta, fonetik, serta simbolisme.
Cara berpikir otak kanan bersifat acak, tidak teratur, intuitif, dan
holistik. Cara berpikirnya sesuai dengan cara-cara untuk mengetahui yang
bersifat nonverbal, seperti perasaan dan emosi, kesadaran yang
berkenaan dengan perasaan, kesadaran spasial, pengenalan bentuk dan
pola, musik, seni, kepekaan warna, kreativitas dan visualisasi.
Kedua
belahan otak penting artinya. Orang yang memanfaatkan kedua belahan
otak ini juga cenderung "seimbang" dalam setiap aspek kehidupan mereka.
Belajar terasa sangat mudah bagi mereka karena mereka mempunyai pilihan
untuk menggunakan bagian otak yang diperlukan dalam setiap pekerjaan
yang sedang dihadapi. Karena sebagian besar komunikasi diungkapkan dalam
bentuk verbal atau tertulis, yang keduanya merupakan spesialisasi otak
kiri, bidang-bidang pendidikan, bisnis, dan sains cenderung berat ke
otak kiri. Sesungguhnya, jika seseorang termasuk kategori otak kiri dan
dia tidak melakukan upaya tertentu memasukkan beberapa aktivitas otak
kanan dalam hidupnya, ketidak-seimbangan yang dihasilkannya dapat
mengakibatkan stres, juga gangguan kesehatan mental dan fisik. Untuk
menyeimbangkan kecenderungan masyarakat terhadap otak kiri, perlu
dimasukkan musik dan estetika dalam pengalaman belajar mereka, dan
memberikan umpan balik yang positif. Semua itu menimbulkan emosi
positif, yang membuat otak lebih efektif. Emosi yang positif mendorong
ke arah kekuatan otak, yang mengarah pada keberhasilan, emosi yang
positif, dan siklus aktif.
Dari pembahasan mengenai belahan otak kanan ataupun otak kiri, bisa diketahui bahwa
tak satu pun bagian otak ini yang bekerja secara sempurna tanpa adanya
rangsangan atau dorongan dari bagian yang lain. Inilah yang disebut
sebagai cara belajar global (global learning). Selama masa hidup,
kita semua mempunyai kesimpulan-kesimpulan tentang otak kita dan
kekuatannya. Mungkin penampilan yang buruk di sekolah membuat seseorang
menyimpulkan bahwa otaknya tidak "sebaik" otak siswa-siswa lain yang
selalu mendapatkan nilai baik. Atau ia memutuskan bahwa otaknya "cocok"
dalam beberapa hal, tetapi tidak untuk hal-hal lainnya. Atau mungkin dia
baru menyadari bahwa ada beberapa hal yang tidak akan pernah bisa
dipelajarinya karena dia tidak punya kemampuan untuk itu. Semua
kesimpulan ini patut disesalkan, dan mungkin saja salah.
Terlepas
dari perbedaan nyata dalam kecerdasan dan tingkat kesuksesan di antara
orang-orang, semua orang mempunyai susunan saraf yang sama. Fisiologi
otak seseorang sangat mirip dengan milik orang lain, bahkan juga dengan
pemikir-pemikir cemerlang seperti Einstein. Ini berarti setiap orang
mempunyai peluang yang luar biasa besarnya. Jika ada seseorang yang
menampilkan perilaku yang mengagumkan, atau yang telah mencapai sesuatu
yang ingin dilakukan, maka orang itu bisa digunakan sebagai model. Dan
siapapun bisa meniru keberhasilan orang itu dengan mengatur pola
berpikir dan tubuhnya seperti model tersebut. Para ilmuwan peneliti
tentang perilaku menyebut ini sebagai pemodelan (modelling).
Ada
beberapa fungsi otak, yaitu neokortek (berpikir), limbik (merasa), dan
reptil (bertahan). Bila dikaitkan dengan pembelajaran, fungsi reptil
diwujudkan dalam bentuk kegiatan menghafal, mengikuti rutinitas dan
contoh yang ditetapkan oleh hierarki, sistem yang digerakkan oleh
semangat mempertahankan diri (takut akan kegagalan), tanpa perhatian
pada perasaan dan pada ikatan sosial di lingkungan pendidikan, tanpa
usaha untuk mengajar murid cara berkreasi, memecahkan masalah, dan
berpikir sendiri.
Sekarang
ini mestinya belajar dalam arti memfungsikan otak reptil harus
direvisi. Pembelajaran harus memanfaatkan kekuatan seluruh pikiran dan
seluruh diri untuk belajar (pikiran, tubuh, emosi, dan semua indra).
Memanfaatkan seluruh otak merupakan kunci untuk membuat belajar lebih cepat, lebih menarik, dan lebih efektif. Menjaga
agar fungsi reptil tetap hidup dengan naluri pertahanan dirinya dan
fungsi-fungsi otomatisnya memang harus dilakukan. Kepatuhan pada contoh
dan kebiasaan itu penting dan positif. Akan tetapi, diperlukan jauh
lebih banyak daripada itu agar dapat hidup secara sempurna. Dalam
belajar fungsi limbik harus dilibatkan. Emosi, sebagaimana yang
dibenarkan oleh penelitian dan akal sehat, berpengaruh besar pada
kualitas dan kuantitas belajar. Tidak ada apa pun yang dapat mempercepat
pembelajaran daripada rasa gembira. Perasaan negatif memperlambat
belajar atau bahkan menghentikannya sama sekali.
Salah satu tujuan tahap persiapan siklus Accelerated Learning
adalah menciptakan perasaan positif dalam diri pembelajar. Tujuan
lainnya adalah membangkitkan kecerdasan sosial sistem limbik. Doronglah
pembelajar untuk bekerja sama, bukannya bersaing, kata para peneliti,
maka pembelajaran akan meningkat pesat. Setiap orang harus melatih
sepenuhnya fungsi neokorteks otak jika ingin mengoptimalkan pembelajaran
dan prestasinya. Hal ini dilakukan dengan mengajar cara berpikir
sendiri, mengolah (bukannya menyimpan) informasi, belajar, berkhayal,
dan menciptakan makna serta nilai bagi dirinya sendiri dari informasi
dan pengalaman yang didapat. Pembelajaran semakin cepat dan mendalam
jika seluruh otak terlibat.
Dalam perspektif terbaru mengenai otak, tampak dengan jelas bahwa konsep behaviorisme[24]
tentang belajar tidaklah komprehensif dan tidak mengembangkan psikologi
seluruh otak, tetapi hanya psikologi otak reptil semata. Behaviorisme
punya wawasan mendalam pada aspek reptil otak. Memang benar bahwa ada
sebagian diri kita yang bersifat mekanis dan ritualistis, yang secara
otomatis merespons berbagai rangsangan luar, yang dapat belajar cara
memasukkan dan mengulang-ulang berbagai perilaku yang telah diprogram.
Masalah behaviorisme adalah bahwa paham itu "berlagak" (sering
secara sangat dogmatis) seolah membahas seluruh otak, padahal
sesungguhnya hanya satu aspeknya.
Manusia lebih dari sekadar fungsi mekanistis, reptilian, dan rangsangan semata. Namun sayangnya, behaviorisme
tidak menyinggung hal ini. Sedikit sekali yang dibahasnya tentang
kecerdasan sosial dan emosional (sistem limbik), dan lebih sedikit lagi
tentang pikiran kreatif dan inovatif (neokorteks). Dan paham ini sama
sekali tidak tertarik menyelami kearifan yang tersembunyi di dalam jiwa.
Akibatnya pun, seperti yang sudah diketahui, banyak hal menimpa
pembelajaran dan pelatihan. Orang diajari bereaksi dengan cara yang
sudah baku, bukan cara berpikir di luar kotak. Pelatihan menjadi
instalasi terprogram dari perilaku yang dapat dikontrol, diulang-ulang,
diramalkan, dan mekanis. "Teknologi Prestasi" (cap baru behaviorisme)
juga tidak lebih baik meskipun beberapa ahli teknologi prestasi
menunjuk-kan tanda-tanda bahwa mereka mulai menghargai segi sosial,
spiritual, emosional, kreatif, dan sistemis dari pembelajaran, dan
karenanya menjadi tidak terlalu mendikte.
Bagi
dunia pendidikan, yang penting adalah mencermati apa yang dapat diambil
dari behaviorisme dan bergerak melampauinya menuju psikologi belajar
yang memperhitungkan seluruh otak dan seluruh konteks belajar sosial dan
emosional. Ini berarti tidak perlu lagi menentukan penampilan manusia
(perilaku), tetapi lebih memusatkan perhatian pada hasil, mendorong
orang untuk terus-menerus menciptakan cara-cara yang lebih baik untuk
mencapai hasil, dan mencapai hasil yang lebih baik. Kita sering
mengacaukan sarana dengan tujuan, seperti yang terlihat dalam penggunaan
istilah "sasaran prestasi" yang menyilaukan. Prestasi adalah sarana, bukan tujuan itu sendiri. Prestasi adalah sarana untuk menciptakan nilai tertentu.
Pada
hakikatnya belajar adalah aktivitas sepanjang hidup, dan ini berarti
belajar adalah sama dengan hidup itu sendiri. Banyak telaah membuktikan
bahwa orang yang terus belajar dan berkembang secara mental sepanjang
hidup mereka jauh lebih kecil kemungkinannya terserang penyakit Alzheimer.
Otak dapat terus menumbuhkan dendrit dan jaringan saraf hingga usia
sangat lanjut jika dirangsang dengan tantangan-tantangan belajar yang
baru, seperti dikemukakan Cynthia Short dalam buku pelatihan otaknya
untuk kalangan manula, Dendrites Are Forever. Rahasia awet muda tampaknya adalah olahraga, diet yang tepat, dan belajar terus-menerus.
Otak
manusia tidak bekerja seperti media audio atau video tape recorder,
yang mampu merekam seluruh informasi secara utuh. Ketika menerima
informasi, otak tidak langsung merekam, tapi mempertanyakannya lebih
dulu, misalnya: Apakah saya pernah mendengar atau melihat informasi ini
sebelumnya? Di bagian mana informasi ini cocok? Apa yang dapat saya
lakukan terhadap informasi ini? Dalam menerima informasi, ternyata otak
tidak hanya menerima begitu saja, tapi ia akan memproses dan
mengolahnya. Untuk memproses dan mengolah informasi secara efektif, otak
perlu melaksanakan refleksi internal dan eksternal. Ketika kita
berdiskusi dengan orang lain dan aktif bertanya, otak kita dapat
melakukan hal itu dengan lebih baik dibanding hanya mendengar saja.
Sebagai contoh, Ruhl, Hughes, dan Schloss (1987) meminta siswa
mendiskusikan dengan teman sebangku tentang apa yang dipresentasikan
guru dalam jeda waktu tertentu selama belajar. Dibandingkan dengan siswa
pada kelas pembanding yang tidak ada pemberhentian untuk diskusi,
siswa-siswa ini memperoleh nilai dua tingkat lebih baik.
Pemahaman
seseorang terhadap informasi akan lebih baik, jika dia melakukan
sesuatu dengan informasi itu. Menurut John Holt, belajar semakin baik
jika siswa diminta untuk melakukan hal-hal berikut: mengungkapkan
informasi dengan bahasa dan kata-kata mereka sendiri, memberikan
contoh-contoh, mengenalnya dalam berbagai bentuk dan kondisi, melihat
hubungan antara informasi itu dengan fakta atau gagasan lain, menggunakannya dengan berbagai cara, memperkirakan beberapa konsekuensinya, dan mengungkapkan lawan atau kebalikannya.[25]
Dalam banyak hal, otak seperti komputer dan kita sebagai penggunanya.
Sebuah komputer, tentu saja, perlu “dihidupkan” agar supaya dapat
bekerja. Otak kita perlu “dihidupkan” juga. Ketika belajar secara pasif,
otak kita tidak “hidup”. Sebuah komputer memerlukan perangkat lunak (software)
yang tepat untuk menafsirkan data-data yang dimasukkan. Otak kita perlu
dihubungkan dengan apa yang diajarkan pada kita dengan apa yang telah
kita ketahui dan bagaimana kita berpikir. Ketika belajar secara pasif,
otak kita tidak melakukan hubungan ini pada software. Akhirnya,
sebuah komputer tidak dapat menyimpan informasi yang telah diproses
tanpa “menyimpannya”. Otak kita perlu mempertanyakan informasi,
merumuskan atau menjelaskannya pada orang lain agar dapat menyimpannya
dalam memori. Ketika belajar secara pasif, otak tidak menyimpan apa yang
telah dipresentasikan.
Proses
belajar sesungguhnya bukanlah semata kegiatan menghafal. Banyak hal
yang kita ingat akan hilang dalam beberapa jam. Mempelajari sesuatu
bukanlah menelan semuanya. Untuk mengingat apa yang telah diajarkan,
siswa harus mengolah atau memahaminya. Seorang guru tidak bisa dengan
serta merta menuangkan sesuatu ke dalam benak para siswanya, karena
mereka sendirilah yang harus menata apa yang mereka dengar dan lihat
menjadi satu kesatuan yang bermakna. Tanpa diberi peluang untuk
mendiskusikan, mengajukan pertanyaan, mempraktikkan, dan barangkali
bahkan mengajarkannya kepada siswa yang lain, proses belajar yang
sesungguhnya tidak akan terjadi.
Ketika
memulai pelajaran, seorang guru perlu menjadikan siswa aktif sejak
awal. Jika tidak, kemungkinan besar sikap pasif siswa akan terus
melekat, sehingga membutuhkan waktu lama untuk mengaktifkannya. Susunlah
aktivitas pembuka yang menjadikan siswa lebih mengenal satu sama lain,
merasa lebih leluasa, ikut berfikir, dan memperlihatkan minat terhadap
pelajaran. Pengalaman-pengalaman ini bisa dianggap sebagai “hidangan
pembuka” sebelum makanan utama; pengalaman ini membuat siswa berselera
untuk menik-ati hidangan selanjutnya. Memang ada sebagian guru yang
memilih untuk memulai pelajaran hanya dengan pengenalan singkat, namun
menambahkan setidaknya satu latihan pembuka pada rencana pengajaran anda
merupakan langkah pertama yang memiliki banyak manfaat.
Dalam
saat-saat awal dari kegiatan belajar aktif, ada tiga tujuan penting
yang harus dicapai. Arti penting dan manfaatnya jangan dipandang rendah,
meskipun pelajarannya hanya berlangsung satu jam pelajaran. Tujuan pertama,
untuk pembentukan tim, guna membantu siswa untuk lebih mengenal satu
sama lain dan menciptakan semangat kerjasama dan interdependensi. Kedua, melakukan penilaian sederhana, guna mempelajari sikap, pengetahuan dan pengalaman siswa. Ketiga, mengusahakan keterlibatan belajar langsung, guna menciptakan minat awal terhadap pelajaran
Ketiga
tujuan di atas, bila dicapai, akan membantu menciptakan lingkungan
belajar yang melibatkan siswa, meningkatkan kemauan mereka untuk ambil
bagian dalam kegiatan belajar aktif, dan menciptakan norma kelas yang
positif. Dengan hanya memakan waktu sekitar lima menit (tergantung dari
lamanya waktu pelajaran) untuk mengawali pelajaran yang bisa
berlangsung hingga dua jam, alokasi waktu pembuka ini sudah cukup
memadai. Memperkenalkan kembali aktivitas ini dari waktu ke waktu selama
pelajaran juga akan membantu memperbarui pembentukan tim, memperbaiki
penilaian, dan menciptakan kembali minat terhadap mata pelajaran.
D. Penutup
Sebagai
catatan akhir dari tulisan ini, bisa disimpulkan bahwa perubahan
paradigma dalam pembelajaran adalah sebuah keharusan sejarah. Para
pendidik hendaknya memahami mainstream ini, dan kemudian menyesuaikan diri. Esensi dari perubahan paradigma pembelajaran yang berkembang saat ini antara lain adalah:
Pertama,
guru hendaknya memahami bahwa dalam pembelajaran siswalah yang menjadi
pusat belajar, yang mencari, menemukan, membangun dan mengembangkan
pengetahuan. Guru hanya menciptakan kondisi dan situasi yang
memungkinkan siswa membentuk makna dari bahan-bahan pelajaran melalui
suatu proses belajar, dan menyimpannya dalam ingatan yang sewaktu-waktu
dapat diproses dan dikembangkan lebih lanjut.
Kedua,
siswa harus diberi kesempatan untuk membangun pengetahuan secara aktif.
Belajar adalah suatu kegiatan yang dilakukan siswa, bukan sesuatu yang
dilakukan terhadap siswa. Siswa tidak menerima pengetahuan dari guru
atau kurikulum secara pasif. Teori Skemata menjelaskan bahwa siswa
mengaktifkan struktur kognitif mereka dan membangun struktur-struktur
baru untuk mengakomodasi masukan-masukan pengetahuan yang baru.
Penyusunan pengetahuan yang terus-menerus menempatkan siswa sebagai
peserta yang aktif.
Ketiga,
guru perlu mengembangkan kompetensi dan kemampuan siswa. Kegiatan
belajar mengajar harus lebih menekankan pada proses daripada hasil.
Setiap orang pasti mempunyai potensi. Paradigma lama mengklasifikasikan
siswa dalam kategori prestasi belajar seperti dalam penilaian ranking
dan hasil-hasil tes. Paradigma lama ini menganggap kemampuan sebagai
sesuatu yang sudah mapan dan tidak dipengaruhi oleh usaha dan
pendidikan. Paradigma baru mengembangkan kompetensi dan potensi siswa
berdasarkan asumsi bahwa usaha pendidikan bisa meningkatkan kemampuan
mereka. Tujuan pendidikan adalah meningkatkan kemampuan siswa sampai
setinggi yang dia bisa.
Keempat,
pendidikan adalah interaksi pribadi di antara para siswa dan interaksi
antara guru dan siswa. Kegiatan pendidikan adalah suatu proses sosial
yang tidak dapat terjadi tanpa interaksi antarpribadi. Belajar bukan
hanya proses pribadi, tetapi juga proses sosial yang terjadi ketika
masing-masing orang berhubungan dengan yang lain dan membangun
pengertian dan pengetahuan bersama. Dalam interaksi ini, siswa akan
membentuk komunitas yang memungkinkan mereka untuk menikmati proses
belajar dan saling mendukung satu sama lain. Dalam suasana belajar yang
penuh dengan persaingan dan pengisolasian siswa, sikap dan hubungan yang
negatif akan terbentuk dan mematikan semangat siswa. Suasana seperti
ini akan menghambat pembentukan pengetahuan secara aktif. Oleh karena
itu, guru perlu menciptakan suasana belajar yang kondusif, di mana
hubungan dan kerjasama antar siswa terjalin dengan baik, sehingga
aktivitas belajar menjadi menarik dan menyenangkan.
Kelima,
belajar melibatkan seluruh pikiran dan tubuh. Belajar tidak hanya
menggunakan otak, tetapi juga melibatkan seluruh tubuh dan pikiran
dengan segala emosi, indra, dan sarafnya. Pembelajaran terjadi ketika
seorang pembelajar memadukan pengetahuan dan keterampilan baru ke dalam
struktur dirinya sendiri yang telah ada. Belajar secara harfiah adalah menciptakan makna baru, jaringan saraf baru, dan pola interaksi elektrokimia baru di dalam sistem otak dan tubuh secara menyeluruh.
Keenam,
pada dasarnya makna belajar adalah mengerjakan pekerjaan itu sendiri
(dengan umpan balik), sehingga belajar yang paling baik adalah belajar
dalam konteks. Hal-hal yang dipelajari secara terpisah akan sulit
diingat dan mudah menguap. Kita belajar berenang dengan berenang, cara
mengelola sesuatu dengan mengelolanya, cara bernyanyi dengan bernyanyi,
cara menjual dengan menjual, dan cara memperhatikan kebutuhan konsumen
dengan memperhatikan kebutuhannya. Pengalaman yang nyata dan konkret
dapat menjadi guru yang jauh lebih baik daripada sesuatu yang hipotetis
dan abstrak, asalkan di dalamnya tersedia peluang untuk terjun langsung
secara total, mendapatkan umpan balik, merenung, dan menerjunkan diri
kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar